Pestisida Nabati, Pengendali Hama yang Ramah Lingkungan
PESTISIDA NABATI, PENGENDALI HAMA YANG RAMAH LINGKUNGAN
Daftar Isi
PENDAHULUAN
Tanaman Jagung, Zea mays |
Biopestisida merupakan bahan alami yang berbahan dasar dari tumbuhan yang kaya akan bahan aktif yang berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas, pembunuh dan menghambat pertumbuhan hama atau organisme penyebab penyakit. Menurut Schumann (dalam D'arcy,2012), menjelaskan bahwa biopestisida merupakan senyawa organik dan mikroba antagonis yang dapat menghambat pertumbuhan hama dan penyakit tanaman lainnya. Biopestisida tersebut memiliki senyawa organik yang mudah terdegradasi di alam (Sumartini, 2016).
Serangan organisme pengganggu tanaman terutama hama merupakan salah satu kendala penting dalam budidaya tanaman. Menurut Ginandjar et al. (2018) hama adalah salah satu faktor yang dapat menurunkan hasil produksi tanaman Serangan hama dapat mengakibatkan kerusakan tanaman dan penurunan hasil baik secara kualitas maupun kuantitas. Menurut Sarwar (2015) salah satu alternative untuk mengganti penggunaan pestisida kimia adalah dengan memanfaatkan bahan alami yang berasal dari tumbuhan sebagai pestisida nabati/biopestisida. Untuk mengatasi dampak negatif tersebut, dapat digunakan pestisida nabati yang relatif aman terhadap lingkungan dan tidak mudah menimbulkan resistensi hama. Pestisida nabati adalah pestisida yang berasal dari tanaman. Beberapa jenis tumbuhan yang efektif dijadikan sebagai pestisida yaitu :
Rimpang Jeringau, Acorus calamus L.
Tanaman Acorus calamus |
Insektisida nabati merupakan pestisida yang bersumber bahan-bahan alami seperti tumbuhan, yang pada umumnya mudah terurai, dan spesifik sehingga lebih aman dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan (Kardinan, 2004). Banyak senyawa-senyawa kimia seperti terpenoid, alkoloid, dan fenol yang telah diisolasi dari berbagai tumbuhan dan mempunyai aktivitas penghambat makan serangga (Dadang dan Prijono, 2007). Salah satu tanaman yang mengandung insektisida nabati adalah jeringau. Jeringau (Acorus calamus L.) termasuk dalam golongan rempah-rempah yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Tanaman ini mengandung minyak atsiri yang disebut sebagai minyak kalamus atau calamus oil (Rustini, 2010). Komposisi minyak atsiri rimpang jeringau terdiri dari 82% asaron, 5% kalamenol, 4% kalamin ,1% kalameon, 1% metil eugenol, dan 0,3% eugenol (Sasongko dan Asmara, 2002).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa Minyak atsiri dari jeringau berperan sebagai racun perut, racun kontak, anti-feedant, penolak dan pencegahan oviposisi (Hasan, et al., 2006). Penelitian terhadap hama ulat grayak telah dilakukan oleh Desita (2014) Penggunaan ekstrak rimpang jeringau sebagai insektisida terhadap larva S. litura menggunakan metode penyemprotan juga telah dilakukan sebelumnya. Pandey,et al., (2005) menggunakan ekstrak rimpang jeringau yang diekstraksi menggunakan aseton dan Farida (2006) menggunakan ekstrak rimpang jeringau (dringo) yang diekstraksi menggunakan karbosulfan. Namun penggunaan sawi putih yang telah dicelup pada ekstrak rimpang jeringau sebagai pakan ulat Grayak belum pernah dilakukan.
Penelitian Desita (2018) yang menggunakan ekstrak rimpang jeringau (A. calamus) untuk melihat efektivitasnya terhadap nimfa walang sangit (Leptocorisa acuta thunberg). Hasil penelitian tersebut terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak rimpang jeringau (A. calamus) yang diujikan maka senyawa asarone yang dihasilkan semakin besar, sehingga kontak larva uji dengan ekstrak semakin besar dan tingkat mortalitas larva uji semakin tinggi. Fauziah (2017) yang menggunakan ekstrak etil asetat rimpang jeringau (A. calamus) terhadap kutu beras (Sitophylus oryzae L.) juga memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak etil asetat rimpang jeringau yang diujikan maka tingkat mortalitas terhadap larva uji semakin tinggi.
Rimpang Jahe, Zingiber officinale rosc.
Rimpang jahe, Zingiber officinale |
Menurut Kardinan (2002), pestisida nabati memiliki senyawa kimia yang dapat menghambat pertumbuhan jamur sasaran. Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai fungisida nabati adalah tanaman jahe (Zingiber officinale Rosc.). Menurut Prakash & Rao (1997), tanaman jahe terdapat melimpah di Indonesia. Tanaman jahe diduga dapat berperan sebagai pestisida nabati, karena rimpang tanaman jahe mengandung 2-3 % minyak atsiri, 20-60% pati, damar, asam organik, asam malat, asam oksalat serta gingerin (Mursito, 2003). Menurut Paimin & Murhananto (2002), tanaman jahe mempunyai kemampuan dalam menghambat pertumbuhan jamur dan bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan ekstrak rimpang jahe terhadap pertumbuhan Pythium sp. penyebab penyakit rebah kecambah pada tanaman mentimum secara in vitro. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi suatu alternatif baru dalam pengendalian penyakit rebah kecambah yang ramah terhadap lingkungan.
Temuan ini sejalan dengan hasil penelitiaan Suleiman & Emua (2009) di Nigeria yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak jahe yang dipakai, semakin efektif dalam menekan pertumbuhan jamur Pythium sp. yang menyebabkan penyakit rebah kecambah pada tanaman kacang buncis. Ginting et al. (2004) menyatakan bahwa jamur Hemileia vastatrix (penyebab penyakit karat daun kopi) tidak mampu tumbuh pada cakram daun kopi yang telah diaplikasi dengan ekstrak rimpang jahe. Senyawa kimia yang diduga berperan dalam rimpang jahe adalah minyak atsiri (Paimin & Murhananto, 2002).
Minyak atsiri dalam rimpang jahe sebagian besar terdiri atas zingeton/gingerol atau metil keton, zingiberol, zingiberin, borneol, kamfen, sineol, falandren, pati, damar, asam organik, oleoresin dan gingerin (Kartasapoetra, 1996). Menurut Robinson (1991), senyawa sineol dan turunan golongan fenilpropana merupakan senyawa aromatik yang memiliki daya racun sehingga dapat berfungsi sebagai fungisida. Senyawa lain yang terdapat pada minyak atsiri dalam rimpang jahe antara lain : n-desil aldehid, n-nonil aldehid, d-kamfen, d-a-falandren, metil heptenon, sineol, d-borneol, linalool, asetat, kaprilat, kavicol, fenol dan limonen (Syukur, 2001). Diduga kandungan fenol pada minyak atsiri yang terdapat dalam ekstrak jahe tersebut berperan penting dalam menekan pertumbuhan dan produksi spora jamur Pythium sp. Masih diperlukan penelitian lanjutan untuk menentukan senyawa kimia yang mana yang paling berperan dalam menekan pertumbuhan jamur Pythium sp. tersebut.
Kandungan fitokimia dari rimpang jahe yaitu minyak asiri dalam jahe terdiri atas n-nonylaldehide, dcamphene,d-a-phllandrene, methyl heptenone, cineol, d-borneol, geraniol, linalool, acetates, caprylate, citral, chavicol dan zingiberene. Selain itu juga mengandung resin dan serat.
Ajeran, Bidens pilosa L.
Ajeran, Bidens pilosa |
Tanaman gulma Ajeran mengandung senyawa yang bersifat toksik yaitu flavonoid, alkaloid, saponin dan terpenoid. Senyawa ini dapat membunuh hama sasaran dengan cara masuk ke pencernaan melalui makanan yang mereka makan (Jumar, 2000). Ajeran (Bidens pilosa L.) juga mampu mengendalikan hama kutu daun, ulat tanah dan jenis hama tungau. Kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada Bidens pilosa L. seperti flavonoid, terpenoid, lemak benzenoid, terpen dan fenilpropanoid diduga dapat menyebabkan penurunan aktivitas makan dari P. xylostella, bahkan dalam konsentrasi tertentu dapat mengakibatkan mortalitas pada P. Xylostella. Bagian yang dapat digunakan adalah biji dan seluruh bagian tanaman yang berada di atas tanah. Dalam bahasa Inggris tanaman ajeran memiliki nama hairy beggarticks, Spanish Needle, Blackjacks, dan Beggar ticks. Menurut sejarah tanaman ajeran ini berasal dari Afrika selatan. Rumput ajeran sering ditemui ditanah-tanah kosong dan dipinggiran jalan namun terkadang tumbuhan ini sengaja ditanam untuk dijadikan tanaman hias karena mempunyai bunga yang cukup menarik.
Tumbuhan Ajeran, ketul, atau ketulan mengandung flavonoid terpen, fenilpropanoid, lemak dan benzenoid. Dapat digunakan untuk mengendalikan hama serangga (insekta). Bagian tumbuhan yang digunakan adalah biji, batang, daun dan seluruh bagian tanaman yang berada diatas permukaan tanah.
Kipahit, Tithonia diversifolia
Kipahit, Tithonia diversifolia |
Tanaman kipahit (T. diversifolia) merupakan salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pestisida nabati. Ekstrak daun T. diversifolia dimanfaatkan sebagai insektisida nabati terhadap wereng batang coklat (Mokodompit et al., 2013), walang sangit (Rozi et al., 2013), ulat daun kubis (Firmansyah et al., 2017), hingga rayap (Oyedokun et al., 2014). Larvasida terhadap larva lalat Crysomya bezziana (Wardana dan Diana, 2014). Rebusan daun, batang, dan bunga T. diversifolia juga memiliki aktifitas nematisidal terhadap Meloidogyne incognita (Oktafiyanto et al., 2016).
Hasil penelitian Mokodompit et al., (2013) menyatakan pemberian ekstrak daun kipahit dengan konsentrasi 7% berpengaruh terhadap penghambatan daya makan wereng batang coklat sebesar 88,56%. Hal ini diduga karena kipahit mengandung senyawa kimia flavonoid, alkaloid dan tanin (Taofik et al., 2010). Sedangkan hasil penelitian Rayati (2011) dan Hardiansah et al., (2015) yang menyatakan bahwa pestisida nabati saliara mendekati / setara dengan insektisida kimia sintetis. Hal ini diduga karena saliara mengandung senyawa kimia saponin, flavonoid dan minyak atsiri (Hidayati et al., 2008). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun kipahit (Tithonia diversifolia) dan daun saliara (Lantana camara L.) terhadap mortalitas kepinding tanah (Scotinophara coarctata).
Hal ini diperkuat bahwa dalam ekstrak daun kipahit terkandung senyawa aktif yaitu flavonoid, alkaloid dan tanin (Taofik et al., 2010). Kandungan senyawa tersebut bersifat antifeedant dan repellent (Morello dan Rejessus, 1983 dalam Afifah et al., 2015). Mokodompit et al., (2013) juga menjelaskan bahwa alkaloid dan flavonoid merupakan senyawa yang dapat bertindak sebagai stomach poisoning atau racun perut, sehingga apabila senyawa alkaloid dan flavonoid masuk ke dalam tubuh serangga maka alat pencernaannya akan terganggu, senyawa tersebut juga mampu menghambat reseptor perasa pada daerah mulut serangga, sehingga menyebabkan serangga tidak mampu mengenali makanannya, hingga mati kelaparan. Serta menurut Karimah (2006) dalam Afifah et al., (2015) dan Yunita et al., (2009) senyawa flavonoid dan tanin juga dapat menghambat perkembangan serangga.
Daun Srikaya, Annona squamosa L
Daun Srikaya, Annona squamosa |
Biji srikaya adalah salah satu bagian tanaman srikaya (Annona squamosa L) yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi insektisida botanis. Tanaman ini mudah didapat dan banyak ditanam di kebun-kebun di Indonesia. Biji srikaya mengandung 42-45% lemak, annonain dan skuamosin (golongan asetogenin) serta bersifat racun kontak dan perut terhadap serangga (Londershausen et al., 2004). Pemberian ekstrak heksan biji srikaya dengan konsentrasi 0,50% pada media pertumbuhan larva Chrysomya bezziana dilaporkan menyebabkan kematian dan kegagalan menjadi imago hingga 100% (ardhanaw et al., 2004).
Menurut Purwita (2013), Kandungan senyawa metabolit sekunder pada srikaya ialah glikosida, alkaloid, saponin, flavonoid, tanin, karbohidrat, protein, senyawa fenolik, pitosterol, dan asam amino. Penelitian yang dilakukan oleh Melliawati (2017) menunjukkan bahwa daun srikaya mengandung alkaloid, glikosida sianogen, flavonoid, fenol, saponin, dan terpenoid. Selama ini penggunaan pestisida nabati khususnya pemanfaatan srikaya masih sangat jarang, berbagai penelitian yang telah dilakukan memberikan tanggapan bahwa tumbuhan srikaya ini mengandung zat annonain yang berperan sebagai pestisida nabati terhadap serangga hama (Windasari, 2011) sehingga pemberian ekstrak daun srikaya sangatlah penting dalam pemberantasan hama, khususnya hama ulat grayak yang mampu menurunkan produktivitas tanaman bahkan hingga gagal panen.
Tulisan Oleh: Parissa Anandita De Yudanur, S.Si (Mahasiswa Pascasarjana Biologi, Universitas Andalas), Dosen : Dr. Resti Rahayu
0 Response to "Pestisida Nabati, Pengendali Hama yang Ramah Lingkungan"
Post a Comment