Mengenal Tanaman Jarak Pagar Jatropha curcas Linnaeus yang Banyak Manfaat
Jumlah penduduk di Indonesia tiap tahunnya meningkat, sehingga kebutuhan akan bahan bakar minyak (BBM) pun akan meningkat. Sejak tahun 1995 konsumsi BBM di Indonesia telah melebihi produksi dalam negeri.
Diperkirakan dalam jalangka waktu tertentu hingga 10-15 tahun ke depan cadangan minyak dalam negeri akan habis (Hambali et al. 2006). Negara-negara anggota Organization of Petroleum Exporting Country (OPEC) yang penduduknya padat seperti Indonesia, harus dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi krisis energi, terutama kelangkaan BBM yang menyebabkan harganya meningkat.
Untuk menanggulangi kelangkaan BBM, beberapa cara yang dapat ditempuh diantaranya gerakan hemat energi hingga mencari sumber-sumber energi lain pengganti BBM, seperti mengusahakan peningkatan pemanfaatan gas alam, energi panas bumi, tenaga air, energi surya, energi angin, energi nuklir dan sebagainya. Pembangunan bukan berarti merusak, tetapi suatu usaha yang bijak dengan memanfaatkan energi hijau yang berasal dari tumbuhan (Sanusi 1984).
Bahan bakar yang ramah lingkungan yang berasal dari tumbuhan disebut bahan bakar nabati (BBN). Menurut Riberio et al. (1997) dalam Indartono (2006) BBN telah memenuhi dua syarat utama sebagai sumber energi baru:
- tidak menciptakan ketergantungan, karena bahan baku BBN dapat dibudidayakan di Indonesia, dan
- ramah lingkungan. Emisi pembakaran BBN yang juga merupakan gas rumah kaca yaitu CO2, pada prinsipnya akan diserap kembali oleh tanaman sumber BBN.
Terbukti telah terjadi penurunan emisi CO2 sebesar 12% di Brazil setelah negara ini menggunakan bioetanol dalam skala besar.
Komoditas perkebunan dapat diolah menjadi minyak nabati yang bersifat seperti minyak disel/solar, diantaranya minyak kelapa sawit, kelapa, jagung, kedelai, dan jarak pagar. Tetapi peluang jarak pagar sebagai bahan bakar biodisel lebih besar dikarenakan minyak jarak pagar tidak termasuk dalam kategori edible oil. Selain itu jarak pagar juga merupakan tanaman yang mudah untuk dibudidayakan karena tahan akan kekeringan, juga mampu tumbuh dengan cepat dan kuat di lahan beriklim panas, tandus dan berbatu.
Penanaman jarak pagar dengan skala besar dengan sistem pertanaman monokultur sangat berpotensi munculnya hama dan penyakit tanaman yang dapat menurunkan produksi buah atau biji (Hambali et al. 2006).
Banyak orang beranggapan bahwa tanaman jarak pagar adalah jenis tanaman yang beracun dan memiliki sifat fungisidal sehingga tidak perlu mengkhawatirkan adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), tetapi dari hasil laporan diketahui adanya beberapa hama dan penyakit pada pertanaman yang menyebabkan kerusakan secara ekonomi (Djudawi 2006). Informasi mengenai hama dan penyakit pada pertanaman jarak pagar hingga saat ini belum banyak diketahui dan terbatas. Oleh karena itu, inventarisasi OPT pada pertanaman jarak pagar perlu dilakukan agar pengelolaan tanaman jarak pagar dapat dilakukan dengan baik.
Nama Populer - Pop name : Jarak Pagar
Nama Latin - Latin Name : Jatropha curcas Linnaeus
Family : Euphorbiaceae
Origin - Daerah Asal : Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan
Letak : Tanaman Penghasil Minyak
Tipe Tanaman : Tanaman Perkebunan
Propagasi perbanyakan : Stek, Biji
Media Tanam : Tanah Kebun
Perlakuan khusus : Pemangkasan dan Pemupukan
Jarak pagar (Jatropha curcas) adalah tumbuhan semak berkayu yang banyak ditemukan di daerah tropik. Tumbuhan ini dikenal sangat tahan kekeringan dan mudah diperbanyak dengan stek. Walaupun telah lama dikenal sebagai bahan pengobatan dan racun, saat ini ia makin mendapat perhatian sebagai sumber bahan bakar hayati untuk mesin diesel karena kandungan minyak bijinya.
Peran yang agak serupa sudah lama dimainkan oleh kerabatnya, jarak pohon (Ricinus communis), yang bijinya menghasilkan minyak campuran untuk pelumas.
Tumbuhan ini dikenal dengan berbagai nama di Indonesia: jarak kosta, jarak budeg (Sunda): jarak gundul, jarak pager (Jawa): kalekhe pagar (Madura): jarak pager (Bali): lulu mau, paku kase, jarak pageh (Nusa Tenggara): kuman nema (Alor): jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomene (Sulawesi): ai huwa kamala, balacai, kadoto (Maluku).lulang (karo
Berdasarkan pengamatan terhadap keragaman di alam, tumbuhan ini diyakini berasal dari Amerika Tengah, tepatnya di bagian selatan Meksiko, meskipun ditemukan pula keragaman yang cukup tinggi di daerah Amazon. Penyebaran ke Afrika dan Asia diduga dilakukan oleh para penjelajah Portugis dan Spanyol berdasarkan bukti-bukti berupa nama setempat.
Ke Indonesia, tumbuhan ini didatangkan oleh Jepang ketika menduduki Indonesia antara tahun 1942 dan 1945. Tumbuhan ini direncanakan sebagai sumber bahan bakar alternatif bagi tank dan pesawat perang sewaktu Perang Dunia II.
Kemampuan untuk diperbanyak secara klonal menyebabkan keanekaragaman tumbuhan ini tidak terlalu besar. Walaupun demikian, karena ia termasuk tumbuhan berpenyerbukan silang maka mudah terjadi rekombinasi sifat yang membawa pada tingkat keragaman yang cukup tinggi.
Biji (dengan cangkang) jarak pagar mengandung 20-40% minyak nabati, namun bagian inti biji (biji tanpa cangkang) dapat mengandung 45-60% minyak kasar.
Karakteristik dan Produksi Minyak Tanaman Jarak Pagar
Produksi bahan bakar dari tanaman disebut biodisel atau minyak nabati. Biodiesel didefinisikan sebagai metil ester yang diproduksi dari minyak tumbuhan atau hewan dan memenuhi kualitas untuk digunakan sebagai bahan bakar di dalam mesin diesel (Vicente et al. 2006 dalam Indartono 2006).
Dahulu minyak jarak pagar jarang diproduksi karena harga BBM yang rendah karena adanya subsidi dari pemerintah yang mengakibatkan minyak dari tumbuhan tidak dapat bersaing dengan minyak dari penambangan. Meningkatnya harga bahan bakar dunia saat ini menyebabkan minyak jarak pagar diproduksi kembali yang sebelumnya pada zaman Jepang tanaman jarak pagar pernah diproduksi sebagai bahan bakar pesawat terbang dan minyak lampu di perumahan (Indartono 2006). Kandungan minyak jarak pagar dipengaruhi oleh tingkat kemasakan buah.
- Buah jarak pagar dapat dibedakan dalam beberapa tingkatan dalam satu ranting dalam hubungannya dengan kandungan minyaknya yaitu
- buah muda ditandai dengan kulit buah berwarna hijau muda, biji berwarna putih, daging biji belum terbentuk masih berupa air yang keruh, biji ini belum mengandung minyak,
- buah setengah tua ditandai dengan kulit buah berwarna hijau, kulit biji berwarna coklat muda keputih-putihan, daging biji telah terbentuk namun masih lunak, biji juga belum mengandung minyak,
- buah tua, ditandai dengan kulit buah berwarna hijau tua, biji berwarna hitam dan keras, biji telah mengandung minyak walaupun masih rendah,
- buah masak kulit buah berwarna kuning sampai hitam, biji telah berwarna hitam mengkilat dan keras, kandungan minyak paling tinggi, dan
- buah lewat masak, buah telah kering atau telah jatuh, tergantung pada kondisi lingkungan, jika kondisi kering maka buah dapat tergantung di pohon selama 2–3 bulan ditandai dengan kulit buah telah mengering dengan warna coklat kehitaman, sedang jika kondisi basah, buah akan jatuh dan berkecambah, pada kondisi demikian kandungan minyak sangat rendah (Gambar 1) (Indartono 2006)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa panen buah pada tingkat 4 buah masak, memberikan hasil minyak tertinggi yaitu 30,32% untuk buah berwarna kuning dan 31,47% untuk buah hitam sedang buah pada tingkat 3 buah tua dengan kulit berwarna hijau tua dan biji berwarna hitam, kandungan minyaknya hanya 20,70% (Yeyen et al. 2006). Bila setiap hektar terdiri atas 2.500 tanaman jarak pagar unggul yang sudah dewasa (umur 4 tahun setelah tanam) dengan kondisi syarat tumbuh (tanah dan iklim) dan pemeliharaan yang optimal maka setiap pohon memiliki 40 cabang, setiap cabang mempunyai 3 tandan buah per tahun, setiap tandan menghasilkan 10–15 buah per tandan (30–45 biji). Dalam kondisi yang demikian, jumlah biji yang akan dihasilkan dari luasan 1 ha adalah 2.500 tanaman x 40 cabang x 3 tandan x (10–15) buah x 3 biji = 9.000.000–13.500.5000 biji. Bila 1 kg terdiri atas 2.000 biji kering maka produksi jarak pagar per hektar per tahun adalah 4,5–6,75 ton biji kering (Indartono 2006). Morfologi dan Bioekologi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.)
Ciri ciri dan Identifikasi tanaman
Habitus Tanaman
Tinggi Tanaman : hingga 5 m
Diameter Tajuk : hingga 3 m
Tanaman
Jarak pagar ialah tanaman perdu yang agak besar dengan cabang yang tidak teratur. Tanaman ini mulai berbuah pada umur lima bulan, dan mencapai produktivitas optimal pada umur lima tahun. Tanaman ini mencapai ketinggian 3–5 m
Batang dan Percabangan Tanaman
Batang tanaman saat muda sukulen dan saat tua akan berkayu.
Daun Tanaman
Bentuk daun - Leaf Shape : Cordatus, Reniformis
Susunan daun - Leaf Arrangement : : Pinnate
Susunan daun dari batang - Leaf Arr. on Stem : Petiole
Tulang daun - Leaf Venation : Menajari
Pinggir daun - Leaf Margins : Rata
Pangkal daun : Spinose
Ujung daun - Leaf Tip : Sagittate
Warna daun - Leaf Colour : Hijau, Hijau muda
Tangkai daun atau petiole : Petiole
Ukuran daun - Leaf Size : Panjang 10 -20 cm, Lebar 10 - 20 cm
Permukaan daun : Halus dan rata
Daun jarak pagar berbentuk jantung dan bertangkai panjang, cabang pohonnya mengandung getah
Bentuk jantung (cordatus), yaitu bangun seperti bulat telur, tetapi pangkal daun memperlihatkan suatu lekukan.
Bentuk ginjal atau kerinjal (reniformis), yaitu daun yang pendek lebar dengan ujung yang tumpul atau membulat dan pangkal yang berlekuk dangkal
Bunga Tanaman
Tipe pembungaan dengan letak bunga pada batang pada ujung batang (flors terminalis)
Warna bunga kuning kehijaun
Bunga berwarna kuning kehijauan dan berupa bunga majemuk berumah satu, bunga ini tersusun dalam rangkaian berbentuk cawan yang tumbuh di ujung batang atau ketiak daun, setiap tandan memiliki lebih dari 15 bunga, serta jumlah bunga betina lima kali lebih banyak dari bunga jantan.
Buah Tanaman
Buah berbentuk elips dengan panjang sekitar 2,5 cm, dan di dalamnya terdapat 2–3 biji
Posisi buah di ujung, Flos terminalis
Susunan buah dompolan
Buah buah majemuk
Warna buah hijau dan hitam
Ukuran Buah panjang 3 cm dan diameter 2 - 3 cm
Muda hijau
Tua hitam
Tanaman jarak pagar mulai berbunga setelah umur 3–4 bulan, sedangkan pembentukan buah mulai pada umur 4–5 bulan. Pemanenan dilakukan jika buah telah masak, dicirikan kulit buah berwarna kuning dan kemudian mulai mengering. Buah biasanya masak setelah berumur 5–6 bulan. Tanaman jarak pagar merupakan tanaman tahunan yang dapat hidup lebih dari 20 tahun jika dipelihara dengan baik (Indartono 2006).
Kesesuaian Lahan dan Adaptasi
Ketinggian tempat altitude : 10 - 1.800 m dpl
Kesesuaian suhu : 16 - 34 derajat celcius
Kesesuaian tanah : Tanah marjinal dan subur
Kesesuaian curah hujan : 1000 - 1.800 mm per tahun
Kesesuaian cahaya : Full Sun
Pertumbuhan Tanaman : Lambat
Kebutuhan Air : Moderate
Kebutuhan Perawatan : Pengendalian hama dan penyakit
Beberapa varietas jarak pagar yang dikenal saat ini ialah Cape Verde, Nicaragua, Ife Nigeria, dan Non-Toksik Mexico (Syah 2006). Tanaman jarak pagar sebagai tanaman yang mudah beradaptasi terhadap lingkungan tumbuhnya. Lingkungan tumbuh yang optimal bagi pertumbuhannya yaitu antara 50 °LU–40 °LS, ketinggian antara 0–2000 m dpl, suhu berkisar antara 18–30 °C, dan curah hujan antara 300–1200 mm/tahun.
Pada daerah dengan suhu rendah (< 18 °C) dapat menghambat pertumbuhan tanaman, sedangkan pada suhu tinggi (> 35 °C) dapat menyebabkan gugur daun dan bunga, serta buah menjadi kering sebelum waktunya, sehingga menurunkan produksi. Tanaman jarak pagar dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, tetapi memiliki drainase baik, tidak tergenang, dan pH tanah 5–6,5 (Indartono 2006).
Perbanyakan
Perbanyakan tanaman dengan biji, Stek
Budidaya Tanaman Jarak Pagar
Tanaman jarak pagar hidup dengan baik pada curah hujan optimum 625 mm/tahun dan temperatur tahunan 20–28 °C. Tanaman jarak pagar tumbuh baik pada tanah gembur (Syah 2006). Suhu ekstrim 35 °C akan menghambat pertumbuhan serta dapat mengurangi kadar minyak dalam biji dan mengubah komposisinya.
Jarak pagar memiliki sistem perakaran yang mampu menahan air dan tanah sehingga tahan kekeringan serta berfungsi menahan erosi. Lahan hendaknya memiliki drainase baik, tidak tergenang dan pH tanah 5–6,5 (Djudawi 2006).
Penanaman dengan jarak tanam 2 m x 3 m (populasi 1600 pohon/ha), 2 m x 2 m (populasi 2500 pohon/ha) atau 1,5 m x 2 m (populasi 3300 pohon/ha). Pada areal yang miring sebaiknya digunakan sistem kontur dengan jarak dalam barisan 1,5 m. Lubang tanam dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm.
Bibit dipilih yang sehat dan cukup kuat serta tinggi bibit sekitar 50 cm atau lebih. Pembibitan dapat dilakukan di polibag atau bedengan. Setiap polibag diisi media tanam berupa tanah lapisan atas (top soil) yang dicampur dengan pupuk kandang, dan ditanami 1 benih/polibag. Pembibitan diberi penaung atau atap dengan bahan berupa daun kelapa, jerami atau paranet.
Kegiatan yang dilakukan selama pembibitan antara lain penyiraman (2 kali sehari yaitu pagi dan sore), penyiangan, dan seleksi bibit. Setelah 2–3 bulan bibit dipindahkan ke lapang. Penanaman dapat juga dilakukan secara langsung di lapangan (tanpa pembibitan) dengan menggunakan stek cabang atau batang (Indartono 2006). Setelah tanaman cukup besar perlu dilakukan pemangkasan tanaman agar tumbuh banyak percabangan, dan dilakukan penjarangan yang berfungsi untuk mengurangi terjadinya kompetisi diantara tanaman yang akan digunakan sebagai sumber bibit atau stek.
Pemangkasan dan penjarangan perlu dilakukan secara periodik dalam usaha budidayanya. Selain itu tanaman juga perlu diberi pupuk NPK, karena jika tanah kekurangan nitrogen akan menyebabkan bunga akan gugur. Pemupukan dilakukan 2 kali dalam setahun, yaitu 150 kg SP dan pada pemupukan ke dua dengan dosis 180 kg NPK, dan tiap tahunnya ditingkatkan sebanyak 10% (Syah 2006). Produksi bunga dan buah dipengaruhi oleh curah hujan dan unsur hara, jadi tanaman jarak pagar harus mendapatkan pengairan yang cukup. Jika dalam setahun terdapat satu kali musim hujan maka pembuahan biasanya hanya terjadi satu kali dalam setahun, tetapi jika diberi pengairan dapat berbuah hingga tiga kali setahun. Setelah tanaman berumur lima tahun tanaman jarak pagar dapat menghasilkan 4–12 ton biji/ha per tahun (Syah 2006) atau 1–4 ton rendemen.
Klasifikasi Tanaman
Clade : Spermatopsida
Order : Malpighiales
Family : Euphorbiaceae
Genus : Jatropha
Species : Jatropha curcas
Binomial name
Jatropha curcas Linnaeus
Hama dan Penyakit Tanaman Jarak
Tanaman Jarak Pagar Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) merupakan salah satu masalah yang terjadi pada setiap komoditas pertanian. OPT yang menyerang pertanaman jarak pagar ialah hama tanaman muda: ulat tanah (Agrotis ipsilon, Lepidoptera: Noctuidae), Lundi scarabaeid (Coleoptera: Acarabaeidae), belalang (Valanga spp. dan Locusta migratoria, Orthoptera: Acrididae), ulat grayak (Spodoptera litura, Lepidoptera: Noctuidae). Hama tanaman dewasa: hama pada batang (Ostrinia furnacalis, Lepidoptera: Pyralidae), ulat daun jarak (Achaea janata), ulat api (Parasa lepida, Lepidoptera: Limacodidae), wereng daun (Empoasca sp., Hemiptera), tungau (Tetranychus sp., Acarina: Tetranychidae), ulat tongkol jagung (Helicoverpa armigera, Lepidoptera: Noctuidae). Hama bunga dan buah: kepik hijau (Nezara viridula, Hemiptera: Pentatomidae), ulat penggerek pucuk jarak (Dichocrosis punctiferalis).
Penyakit: bercak bibit, bercak alternaria (Alternaria ricini), karat (Melampsora ricini), bercak daun cercospora (Cercospora ricinella), layu fusarium (Fusarium oxysporum), busuk botrytis (Botrytis ricini), dan bercak daun bakteri (Xanthomonas ricinicola) (Hambali et al. 2006).
Hama yang Menyerang Tanaman Jarak Pagar Jatropha curcas
Hama Belalang (Valanga spp. dan Locusta migratoria, Orthoptera: Acrididae)
Belalang tergolong ke dalam ordo Orthoptera dan famili Acrididae. Imago betina memiliki panjang tubuh 58–71 mm dan imago jantan 49–63 mm. Imago meletakan telurnya pada kedalaman 5–8 cm dan dibungkus material seperti busa. Serangga ini umumnya bertelur pada awal musim hujan dan menetas awal musim kemarau (Dadang et al. 2007). Anggota dari ordo ini umumnya memilki sayap dua pasang. Sayap depan lebih sempit daripada sayap belakang dengan vena-vena menebal/mengeras dan disebut tegmina. Sayap belakang membranus dan melebar dengan vena-vena yang teratur. Pada waktu istirahat sayap belakang melipat di bawah sayap depan.
Serangga ini memiliki dua buah (sepasang) mata majemuk (facet), sepasang antena, serta tiga buah mata sederhana (oceli). Dua pasang sayap serta tiga pasang tungkai terdapat pada thorax. Pada segmen (ruas) pertama abdomen terdapat suatu membran alat pendengar yang disebut tympanum. Spirakel yang merupakan alat pernafasan luar terdapat pada tiap-tiap segmen abdomen maupun thorax. Anus dan alat genetalia luar dijumpai pada ujung abdomen (segmen terakhir abdomen), dan tipe alat mulut menggigit mengunyah. Metamorfose sederhana (paurometabola) dengan perkembangan melalui tiga stadia yaitu telur–nimfa–dewasa (imago) (Indartono 2006).
Belalang daun maupun belalang kembara dapat menyerang pertanaman setiap saat dan memiliki inang yang banyak/polifag. Serangan berat umumnya terjadi pada tanaman muda. Panjang belalang kembara dewasa jantan berkisar antara 3,4–4,1 cm, sedangkan yang betina relatif lebih panjang, yaitu sekitar 4–4,7 cm. Semakin tua umur belalang maka warnanya akan semakin cerah. Warna belalang dewasa yang semula coklat abu-abu akan berubah menjadi kuning mengkilat pada belalang jantan dan berwarna coklat kekuning-kuningan pada belalang betina. Adanya bintik coklat-hitam pada sayap depan yang berwarna kuning transparan, sedangkan untu sayap belakang tidak berbintik.
Belalang memiliki kemampuan jelajah yang tinggi mencapai 200 km, kemampuan pembentukan kelompok dengan anggota yang sangat banyak, serta kemampuan makan yang sangat lahap. Kemampuan makan belalang yang sangat tinggi menyebabkan tanaman dalam jumlah besar akan habis dan rusak dalam waktu yang sangat singkat. Sebagai contoh, tanaman padi akan rusak seluruhnya dan tanaman jagung hanya tinggal batangnya jika terjadi serangan berat oleh kawanan belalang kembara. Populasi belalang kembara yang melimpah tersebut berhubungan dengan kemampuan bertelur belalang yang memang tinggi. Seekor belalang betina dapat bertelur mencapai 24 butir dan dapat bertelur hingga 9 kali. Hasil salah satu penelitian menunjukkan bahwa masa aktif bertelur seekor betina rata-rata selama 63 hari (Indartono 2006).
Pengendalian yang selama ini dilakukan dalam mengatasi hama ini ialah sanitasi lahan, tidak menanam tanaman yang dapat menjadi inangnya di luar tanaman utama, dan pengandalian secara kimiawi yaitu dengan menggunakan insektisida berbahan aktif betasiflutrin, sipermetrin, tiodikarb, MIPC, dan fipronil (Dadang et al. 2007).
Ulat Api (Parasa lepida, Lepidoptera: Limacodidae)
Ulat api tergolong dalam ordo Lepidoptera, famili Limacodidae. Larva ulat ini berwarna hijau terang dengan garis membujur berwarna biru, pada bagian dorsal memiliki rambut-rambut/duri yang muncul dari tubuhnya. Ulat ini disebut ulat api karena apabila duri ulat ini tersentuh tangan akan terasa panas seperti terbakar.
Pada awalnya ulat hidup secara berkelompok/gregarius pada daun jarak, kemudian menyebar ke seluruh bagian tanaman seiring dengan pertumbuhan larva. Imago meletakan telur pada bagian tanaman yang lunak dalam kelompok kecil. Hama ini bersifat polifag, satu ekor imago betina dapat menghasilkan 400– 600 butir telur dalam waktu 3–5 hari. Ulat dapat menyebabkan daun tanaman jarak berlubang, serangan berat daun akan habis.
Pengendalian yang pernah dilakukan terhadap serangga ini ialah dengan memanfaatkan musuh alami seperti parasitoid Apanteles parasae, Chrysis shanghaiensis, Trachysphyrus (Cryptus) oxymorus (Tosq.), Chlorocryptus sp., Goryphus mesoxanthus (Br.), beberapa golongan Ichneumonidae, Fornicia sp. (Braconidae), Meteorus sp., Rogas sp., Euplectomorpha sp., dan Platyplectrus orthocraspedae Ferr., dan predator Canthecona sp. dan Sycanus sp..
Pengendalian juga dapat menggunakan musuh alami dari golongan cendawan atau disebut entomopatogen, cendawan yang digunakan dalam pengendalian hama ini yaitu Cordyceps coccinea. Selain itu pengendalian sering dilakukan dengan penggunaan senyawa kimia yaitu insektisida dengan bahan aktif klorpirifos dan organofosfat lainnya, serta insektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis (Dadang et al. 2007).
Tungau (Tetranychus sp., Acarina: Tetranychidae)
Tetranychus sp. termasuk dalam ordo Acarina. Telur Tetranychus sp. yang berwarna merah tua dan berbentuk bulat adalah fase yang mudah untuk membedakan dari tungau jenis lain. Telur sebagian besar diletakkan di permukaan bagian atas sepanjang tulang daun, tetapi sebagian lainnya diletakkan pada permukaan daun bagian bawah atau secara bebas ke dalam jaringan makanan tanaman (Krantz 1978). Imago betina dari tungau ini berbentuk oval, berwarna merah tua dan mempunyai bulu-bulu yang panjang dan menarik perhatian. Tungau jantan ukuran tubuhnya lebih kecil, lebih runcing dan mempunyai kaki yang relatif panjang dan geraknya lebih aktif daripada yang betina. Tungau dapat memperbanyak diri scara seksual maupun partenogenesis (Oliver 1971).
Populasi tungau merah banyak ditemukan di permukaan daun bagian atas, dan sebagian kecil menyerang buah dan cabang. Dalam proses pemangsaan, tungau merah menghisap klorofil dari daun, sehingga warnanya berubah menjadi bintik-bintik kelabu dan keperakan. Serangan lebih parah di musim kering di mana kelembapan dalam tanaman menurun. Pada kondisi demikian dari efek serangan tungau, iklim dan faktor fisiologis dapat mengakibatkan gugurnya buah dan ranting muda mati.
Buah yang masih hijau lebih disenangi daripada yang tua, tetapi gejala serangan lebih jelas terlihat pada buah yang tua dan bersifat permanen. Varietas jarak yang lebih tahan terhadap serangan hama ini ternyata tanaman yang bunganya tidak dilapisi lilin. Tungau bersifat polifag, selain jarak banyak menyerang pada pertanaman kapas, tomat, kacang-kacangan, dan lainlain.
Penyebaran tungau dapat melalui daun-daun gugur yang terserang, lalu tertiup angin, selain itu dapat melalui sentuhan pakaian pekerja kebun. Musuh alami dapat sebagai pengendalian tungau ini, yaitu tungau predator dari famili Phytoseiidae yang menyerang telur dan larva (Anonim 2007). Selain itu kumbang Coccinelidae, Stethorus spp. juga memangsa tungau tanaman ini.
Secara kimiawi pengendalian hama ini menggunakan akarisida Keethane 200EC dan Omite 570 EC. Selain itu dapat juga digunakan Curacron 500 EC dengan konsentrasi 2 ml/l air atau Pegasus 500 SC dengan konsentrasi 1.5 ml/l air atau Agrimec 18 EC dengan konsentrasi 0,5 ml/l air. Ketiga insektisida digunakan secara bergantian (Anonim 2002).
Kepik Hijau (Nezara viridula, Hemiptera: Pentatomidae)
Kepik hijau merupakan hama penting pada daerah tropik. Kepik hijau memiliki panjang tubuh 16 mm. Imago betina dapat menghasilkan telur sebanyak 10–90 butir dalam bentuk kelompok di permukaan daun. Telur menjadi dewasa membutuhkan waktu 4–8 minggu, siklus hidup 60–80 hari, maksimum mencapai 6 bulan. Imago betina hama ini menyerang pada fase pembungaan sehingga menimbulkan kerusakan pada kapsul buah yang sedang berkembang. Kepik hijau ini bersifat polifag pada tanaman padi, tomat, cabai, kapas, dan lain-lain.
Kerusakan utama biasanya bukan karena tusukan dan hisapan langsung, tetapi karena racun yang dikeluarkan melalui kelenjar ludahnya. Racun ini dapat menimbulkan kelayuan, kematian daun dan pucuk tanaman (Dadang et al. 2007).
Pengendaliannya dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman perangkap seperti Caosalaria. Selain itu mengumpulkan telur dan larvanya kemudian dimusnahkan untuk menekan perkembangan hama ini. Pengendalian hayati dapat menggunakan Trissolcus basalis, Trichopoda pilipes dan Trichopoda pennipes sebagai parasitoid imago, dan predator telur Dolichoderus sp., Gryllidae, dan Arachnida.
Walang Sangit Leptocoriza oratorius
Walang Sangit (L. oratorius, Hemiptera: Alydidae)
Kepik Lembing Chrysochoris javanus
Kepik Lembing (C. javanus, Hemiptera: Pentatomidae). Kepik lembing merupakan hama buah atau bunga jarak pagar yang menghisap nutrisi pada buah maupun bunga jarak pagar, sehingga hama ini sering ditemukan pada lahan tanaman yang berada pada fase generatif.
Gejala serangan hama kepik lembing yaitu menimbulkan kerusakkan pada kapsul buah yang sedang berkembang sehingga bunga/buah yang terserang menjadi coklat kehitaman, bunga tidak bisa menjadi buah, sedangkan buah menjadi rusak tidak dapat dipanen (Djudawi 2006).
terdiri dari tiga ruas, dan tubuh memiliki bentuk perisai yang khas. Scutellum berkembang dengan baik.
Siklus hidup berkisar 60–80 hari, stadia nimfa dan kepik dewasa gerakannya lambat. C. javanus menyerang jarak pagar pada saat pembungaan, menjelang pembentukan buah dan menghisap buah, sehingga menimbulkan kerusakan pada kapsul buah yang sedang berkembang.
Bunga/buah yang terserang akan menjadi coklat kehitaman, bunga tidak bisa menjadi buah, sedangkan buah menjadi rusak tidak dapat dipanen (Djudawi 2006). Pengendalian yang biasanya dilakukan dalam mengatasi hama ini secara mekanik yaitu dengan mengumpulkan dan memusnahkan kelompok telur, nimfa, atau imago. Kegiatan pengendalian secara mekanis dapat dilakukan bersamaan dengan pemangkasan atau pemanenan sehingga dapat mengurangi biaya tenaga kerja. Pengendalian kimiawi dengan insektisida kontak maupun sistemik (Dadang et al. 2007).
Thrips (Selenothrips rubrocinctus: Thysanoptera: Thripidae)
Thrips merupakan ordo Thysanoptera (Borror et al. 1996). Tubuhnya ramping dan pipih, imago berwarna hitam dan panjangnya 1–2 mm (Kalshoven 1981). Semakin rendah suhu suatu lingkungan warna thrips biasanya akan lebih gelap. Thrips jantan tidak bersayap, sedangkan yang betina mempunyai dua pasang sayap yang halus dan berumbai. Hama ini berkembang biak secara partenogenesis atau dapat menghasilkan telur tanpa melalui perkawinan terlebih dahulu.
Telur thrips berbentuk oval, diletakkan secara terpisah-pisah di permukaan bagian tanaman atau ditusukkan ke dalam jaringan tanaman oleh alat peletak telur. Telur diletakkan di bagian dalam jaringan daun, kemudian nimfa yang keluar menghisap jaringan mesofil daun, sehingga beberapa spot transparan dan mengering. Telur yang dihasilkan dapat mencapai 80–120 butir. Setelah 6–8 hari telur menetas menjadi instar pertama berwarna putih transparan (Indartono 2006).
Thrips dewasa dapat hidup hingga 20 hari. Siklus hidup hama thrips lebih kurang 3 minggu. Di daerah tropis siklus hidup tersebut bisa lebih pendek (7–12 hari), sehingga dalam satu tahun dapat mencapai 5–10 generasi. Nimfa atau thrips dewasa menyerang tanaman dengan menggaruk jaringan daun dan menghisap cairan selnya, terutama daun yang masih muda (Anonim 2008).
Karakteristik stadia nimfa S. rubrocinctus memiliki tiga segmen pada abdomen dan terdapat pita/garis melintang berwarna merah-orange pada tengah segmen abdomen (Kalshoven 1981). Nimfa paling suka dengan daun yang masih muda atau kuncup daun. Karena itu, hama ini banyak ditemui di kuncup-kuncup daun.
Gejala yang ditimbulkan adalah daun mula-mula bernoda putih mengkilat seperti perak, kemudian menjadi kecoklat-coklatan dengan bintik hitam. Serangan biasanya akan lebih berat jika terjadi hujan rintik-rintik, suhu di atas normal, dan kelembapan di atas 70%. Hama ini bersifat polifag, kadang-kadang menjadi vektor penyakit (Indartono 2006). Suhu optimum untuk perkembangan serangga ini anatara 26–28 °C dan kelembapan 85% (Kalshoven 1981).
Pengendalian hama ini adalah dengan memasang perangkap likat IATP (Insect Adhesive Trap Papper) berupa kertas lembaran tahan air berwarna kuning (warna yang disukai thrips) yang telah diberi perekat.
Selain dengan perangkap berperekat pemangkasan bagian tanaman yang terserang dan pemusnahan hama juga dapat dilakukan dalam mengendalikan thrips. Secara biologis dengan memanfaatkan musuh alami dari jenis Coccinellidae (Anonim 2008).
Ulat Jengkal (Lepidoptera: Geometridae)
Ulat jengkal dapat menghasilkan telur mencapai 50 butir, telur diletakan secara berkelompok. Lama stadia telur adalah 3 hari, telur berbentuk bulat dan berwarna hijau kebiruan. Pada saat menjelang menetas, telur menjadi kehitaman.
Larva berwarna hijau dan bergerak seperti orang mengukur panjang atau lebar dengan jengkalnya, sehingga diberi nama ulat kilan atau ulat jengkal. Larva ulat jengkal merusak daun-daun yang agak tua, yaitu dengan cara menggigit daun dari arah pinggir. Jika serangan berat, bagian daun yang tersisa hanya tulang daunnya saja. Larva berpupa dalam anyaman daun.
Pada tanaman kakao, jika daun sudah habis, maka larva ini akan menyerang bunga dan buah. Saat larva sudah besar biasanya masuk ke dalam tanah yang gembur untuk berpupa pada kedalaman 2–3 cm. Lama stadium pupa adalah 6 hari. Ngengat berwarna coklat keabu-abuan dan aktif pada malam hari. Tanaman inang lain hama ini adalah kacang hijau, kedelai, kentang, kakao, dan tembakau.
Kutu Putih (Ferrisia virgata, Hemiptera: Pseudococcidae)
Kutu dompolan tergolong dalam ordo Hemiptera dan famili Pseudococcidae yaitu serangga yang menyerupai tepung. Karakteristik hama ini yaitu memiliki tubuh berwarna putih dan lilin kuning, tubuhnya di lapisi oleh tepung berwarna putih, pinggiran tubuhnya terdapat seperti benang-benang kecil, serta pada bagian ekor memiliki 2 benang yang lebih panjang panjang dari benang lainnya di sekitar tubuh.
Hama ini bersifat polifag, imago betina dapat menghasilkan 200–450 telur dalam waktu beberapa jam. Sedangkan perubahan bentuk dari telur menjadi nimfa berlangsung 4–9 hari. Untuk jantan akan menjadi imago dalam waktu 20– 60 hari setelah nimfa menetas dan imago betina membutuhkan hanya 20–45 hari untuk menyelesaikan masa nimfanya. Imago betina dapat hidup selama 1–2 bulan, sedangkan jantan hanya 1–3 hari. Selain dengan cara kopulasi, perkembangbiakan hama ini dapat dilakukan secara partenogenesis oleh imago betina (Kalshoven 1981).
Pengendalian hama ini adalah dengan menggunakan benih yang sehat dan secara mekanis memangkas bagian tanaman yang terserang dan dimusnahkan (Dadang et al. 2007). Pengendalian secara biologis dengan memanfaatkan predator dari famili Coccinellidae yaitu Scymnus apiciflavus (Anonim 2007) dan Cryptolaemus montrouzieri, serta Syrphidae (Dadang et al. 2007). Selain predator, dapat juga memanfaatkan parasitoid Cocophagus gumeyi, Tetracnemus pretiosus, T. Peregrinus, Leptomastidae abnormis dan Anarhopus sydeyensis (Anonim 2007). Pengendalian kimiawi dengan menggunakan insektisida sistemik.
Kumbang Moncong (Coleoptera:Curculionidae)
Kumbang moncong memiliki warna hitam kotor/tidak mengkilap dengan ukuran antara 3,5–7 mm termasuk moncong. Kumbang bertelur pada daun atau lubang pada batang tanaman. Larva menggerek ke jaringan batang atau masuk ke pucuk/kuncup dan tangkai sampai menjadi pupa. Pupa terbungkus oleh sisa makanan dan terletak di rongga dalam bekas gerekan batang.
Kerusakan terjadi karena larvanya menggerek daun dan memakan jaringan di bagian dalam batang sehingga mengakibatkan aliran air dan hara dari akar terputus serta daun-daun menjadi kuning dan layu. Kerusakan pada daun menyebabkan daun berlubanglubang. Larva juga menggerek batang umbi, pucuk dan batang untuk membentuk pupa, sedangkan kumbang dewasa memakan epdermis/permukaan daun muda, jaringan/tangkai bunga dan pucuk/kuntum sehingga dapat mengakibatkan kematian bagian tanaman yang dirusak. Serangan pada titik tumbuh dapat mematikan tanaman. Pada pembibitan Phalaenopsis sp. dapat terserang berat hama ini.
Serangan kumbang gajah dapat terjadi sepanjang tahun, tetapi paling banyak terjadi pada musim hujan, terutama pada awal musim hujan tiba (Anonim 2007). Inang lain dari hama ini adalah anggrek, kelapa, dan kelapa sawit.
Wereng Daun (Empoasca sp., Hemiptera: Cicadellidae)
Wereng daun merupakan salah satu hama utama pada tanaman jarak di daerah tropik dan subtropik dan sangat berbahaya pada tanaman di lahan pembibitan (Dadang et al. 2007). Imago betina meletakan telur di dalam jaringan daun, dekat dengan tulang daun di permukaan bawah. Nimfa dan imago menghisap cairan daun hingga daun berubah warna menjadi merah atau coklat. Kadang kala daun mengering dan mati. Pengendalian hama ini dengan menggunakan insektisida imidaklrpid, betasiflutrin, atau karbosulfan (Dadang dkk. 2007).
Penyakit yang Menyerang Tanaman Jarak Pagar Jatropha curcas
Bercak/Penyakit Kulit Botryodiplodia (Botryodiplodia sp.)
Penyakit kulit botryodiplodia sering ditemui pada anggrek jenis Vanda sp. dan Arachnis sp. (Anonim 2007). Gejala dapat terjadi pada batang berupa bercak coklat hingga hitam pada permukaan berupa blendok, kulit menjadi gelap dan lama kelamaan akan mengering.
Bagian yang sakit akan menjadi luka yang terbuka (kanker) akhirnya akan mati. Penyakit ini berkembang dalam kambium, sehingga menimbulkan kerugian yang lebih besar dari penampakan luarnya (Semangun 2000). Bercak tidak terbatas pada bagian-bagian yang tua saja tetapi yang muda pun terserang. Penyakit memencar dengan spora yang terdapat pada badan buahnya.
Spora memencar bila terjadi perubahan cuaca yang mendadak dari basah ke kering (Anonim 2007). Konidia berbentuk kapsul kecil berwarna orange dengan sekat melintang (Agrios 1997). Konidium cendawan ini bersel satu dan hialin pada waktu muda, serta bersel dua dan warna agak gelap dengan ukuran 26–28 µm x 12–14 µm saat konidium dewasa. Cendawan ini bertahan pada ranting-ranting dan kulit batang/cabang yang sakit.
Pengendalian penyakit kulit botryodiplodia dapat dilakukan dengan cara yaitu dianjurkan untuk mengapur pangkal batang setelah pemangkasan dengan campuran kapur dan garam dapur (25 kg kapur mati, 2 kg garam dapur, 25–35 l air), dapat juga dilakukan dengan cara pengolesan dengan bubur Bordeaux 5% yang dicampur dengan lem kayu 0,5% (Muller 1940 dalam Semangun 2000).
Selain itu pengendalian terhadap tanaman yang terserang penyakit dapat dilakukan dengan memotong bagian yang terinfeksi dan bagian luka bekas pemotongan tadi ditutup dengan lilin yang telah dicampur dengan karbolineum planetarium. Untuk mengurangi terjadinya serangan Botryodiplodia sp. pada buah, setelah dilakukan pemanenan buah segera dibawa ke tempat penyimpanan/pemeraman secara tertutup dan mengusahakan tangkai buah masih melekat pada buah untuk menghindari terjadinya luka pada buah (Semangun 2000).
Embun Tepung (Oidium sp.)
Embun Tepung ialah cendawan obligat. Konidia tumbuh baik pada suhu 7–31 °C dan kelembaban 30%–100%. Perkembangan patogen ini memerlukan keadaan lingkungan yang lembap (optimum 90%), tetapi air tidak sampai tergenang di atas permukaan tanah. Curah hujan yang tinggi merupakan kondisi yang kurang menguntungkan untuk patogen ini, sebab dapat mengganggu perkembangannya pada daun yang selalu basah. Terkena sinar matahari langsung, suhu hingga 33 °C, dan kelembaban di bawah 20% akan mengganggu perkembangan patogen.
Perkembangan penyakit sangat dibantu oleh sedikit hujan, tidak banyak sinar matahari, dan suhu yang agak rendah (Anonim 1962 dalam Semangun 2000). Dari penelitian di Malaysia pertumbuhan cendawan Oidium akan cepat pada suhu 15–16 °C dan kelembapan nisbi 75%–80% (Semangun 2000). Cendawan ini dapat menyerang berbagai bagian tanaman, baik bagian batang, daun, atau bunga. Penyebarannya ke tanaman lain dengan bantuan angin maupun kontak dengan tanaman yang terinfeksi. Cendawan ini memiliki apresorium yang membulat, konidiofornya 60–120 x 12 µm, sedangkan konidiumnya mebentuk rantai yang terdiri dari 4–8 konidium yang melekat pada konidiofornya, konidium tidak berwarna, ukuran konidium sangat dipengaruhi oleh tanaman inang dan cuaca (Semangun 2000).
Pada permukaan tanaman yang terserang tampak bercak-bercak berwarna putih kelabu seperti beludru halus, yang terdiri dari miselium, konidiofor, dan konidium cendawan. Bila serangan berat akan menimbulkan bercak coklat kemerahan. Jika serangan terjadi pada daun yang baru saja berkembang akan menyebabkan perubahan warna menjadi kusam, daun lemas dan tepi-tepinya agak mengeriting.
Serangan pada daun muda ini dalam beberapa hari akan menjadi hitam dan gugur satu per satu. Jika serangan pada daun yang agak tua, daun akan mengalami perubahan warna/pemudaran warna dan hanya 1 atau 2 daun yang rontok. Di India telah dilaporkan penyakit ini menyerang pada pertanaman jarak pagar (Lim 1972 dalam Semangun 2000).
Pengendalian terhadap penyakit embun tepung dapat dilakukan dengan cara membuat kondisi lingkungan yang tidak sesuai terhadap perkembangan cendawan ini dengan cara pemangkasan yang dapat mengurangi kelembapan tanaman (Semangun 2000). Di daerah dengan ketinggian 400 m dpl baiknya dilakukan penyemprotan dengan bubur california (1:30) (Anonim 1984 dalam Semangun 2000).
Pengendalian lainnya secara umum dapat menggunakan fungisida, baik yang alami yaitu biofungisida dengan memanfaatkan Ampelomyces quisqualis, maupun sintetik dengan menggunakan fungisida berbahan aktif triadimenol, propiconazole, dan fenarimol (Dadang et al. 2007). Kegiatan penyemprotan atau penyerbukan ini dilakukan selama masih ada daun daun muda, dilakukan tiap minggu hingga serangan tidak ada lagi. Penyerbukan juga dilakukan pada waktu daun masih basah oleh embun, sehingga serbuk belerang dapat melekat pada daun (Semangun 2000), pengaruh belerang juga akan meningkat jika terkena sinar matahari langsung (Kauchenius 1931 dalam Semangun 2000). Vollema (1929 dalam Semangun 2000) menyatakan bahwa pemupukan dapat menambah ketahanan pohon terhadap embun tepung.
Layu Fusarium (Fusarium sp.)
Patogen Fusarium sp. menginfeksi tanaman melalui jaringan akar yang terluka. Setelah patogen ini berkembang maka bagian tanaman yang berada di atas tanah akan merana seperti kekurangan air, daun menguning, layu dan keriput, serta akar-akar membusuk.
Pembusukan pada akar-akar ini dapat meluas ke atas sampai ke pangkal batang. Jika akar rimpang dipotong akan terlihat epidermis dan hipodermis berwarna ungu, sedang floem dan xylem berwarna ungu merah jambu muda, akhirnya seluruh akar akan berwarna ungu.
Pengendalian patogen ini dapat menggunakan fungisida Benlate (Benomyl) untuk menyiram atau merendam tanaman, yang jika perlu diulang setelah 2 minggu (Burnett 1974 dalam Semangun 2000).
Busuk Botrytis (Botrytis ricini)
Masalah penyakit busuk botrytis akan serius pada saat musim hujan yang bersamaan dengan pembentukkan kapsul buah. Bunga yang terinfeksi akan timbul bercak kecil berwarna hitam kemudian menjadi busuk dan tertutup cendawan berwarna abu-abu. Cendawan ini memiliki empat tipe propagul yaitu askospora, konidia, miselia, dan sklerotia. Massa konidia berwarna coklat kelabu.
Penyakit ini disebarkan melalui vektor yaitu lalat buah dan thrips, sisa tanaman mati yang terserang, serta udara (Dadang et al. 2007). Pencegahan dengan cara tindakan budidaya seperti penanaman varietas jarak yang tidak banyak duri pada kapsul, irigasi yang tidak berlebihan, penanaman tidak terlalu rapat dan sanitasi.
Pemanfaatan Trichoderma harzianum juga dilaporkan efektif dalam mengendalikan patogen ini. Pencegahan secara kimiawi dengan aplikasi fungisida Karbendazim dengan interval 15 hari sekali. Selain itu mepaniprim dan pirimetanil diketahui memiliki keefektifan yang cukup tinggi dalam pengendalian penyakit ini (Dadang et al. 2007).
Bercak Daun Bakteri (Xanthomonas ricinicola)
Temperatur optimum untuk pertumbuhan bakteri Xanthomonas ricinicola adalah 36 °C dengan kelembaban 80%. Bakteri ini menyerang kutiledon dan daun. Gejala yang ditimbulkan berupa bercak bulat berwarna coklat atau kuning dan tidak beraturan, serta tepi dibatasi garis berwarna terang pada permukaan bawah daun. Gejala ini dapat meluas hingga permukaan atas daun dan bercak akan meluas berwarna coklat gelap atau hitam, dan disekitar bercak berwarna kuning.
Pada buah akan menyebabkan bercak dengan halo berwarna hijau terang. Sedangkan pada ranting akan menyebabkan kanker dengan bercak hitam. Bakteri ini dapat disebarkan melalui bantuan angin dan air hujan.
Patogen ini dapat menginfeksi tanaman melalui stomata maupun luka. Tindakan pengendalian untuk meminimalkan serangan bakteri bercak daun ini dengan cara sanitasi lahan dan perlakuan panas pada biji selama 10 menit. Pengendalian kimia dapat digunakan bakterisida berbahan aktif streptosiklin atau dari golongan oksitetrasiklin, serta senyawa kimia yang mengandung seng seperti ziram dan seng sulfat (Dadang et al. 2007)
Musuh Alami Hama
Belalang Sembah (Mantodea:Mantidae) Belalang sembah adalah serangga yang memiliki tungkai depan yang selalu berada di depan tubuhnya, hewan ini merupakan predator dari serangga-serangga kecil yang berada di sekitar pertanaman (Kalshoven 1981). Mantidae memiliki tipe metamorfosis paurometabola, yaitu telur–nimfa–imago. Predator ini dapat bersifat kanibal, jantan dari serangga ini akan dimakan oleh betinanya setelah melakukan kopulasi (Kalsohoven, 1981).
Coccinellidae Predator (Coleoptera) Kumbang predator Menochilus sexmaculatus (Coccinellidae) memiliki panjang tubuh 0,8–18 mm, berbentuk oval setengah lingkaran dengan bagian dorsal cembung dan bagian ventral datar (Hodek 1973). Predator ini mampu memangsa 200–400 ekor nimfa kutu kebul. Siklus hidup predator 18–24 hari, dan satu ekor betina mampu menghasilkan 3000 butir telur (Anonim 2008). Coccinellidae juga merupakan salah satu predator dari kutu daun (Anonim 2007).
Manfaat Tanaman
Manfaat tanaman Jarak Pagar utamanya adalah untuk penghasil minyak Biodiesel
Lokasi Pemotretan
Lokasi pemotretan di Bekasi, Jawa Barat
Detail :
Camera maker : Nikon Corporation
Camera model : Nikon D5200F Stop : f/5.6
Exposure time : 1/125 sec.
ISO Speed : ISO 400
Focal lengh : 300 mm
Lens : Sigma 70-300mm f/4-5.6 DG Macro Kamus Identifikasi tumbuhan dan tanaman serta Sumber Informasi untuk Pengenalan Tumbuhan dan Tanaman
Planter and Forester
0 Response to " Mengenal Tanaman Jarak Pagar Jatropha curcas Linnaeus yang Banyak Manfaat"
Post a Comment