Petani umumnya melakukan pola tanam secara monokultur maupun tumpangsari. Sebagian besar petani (60%) lebih memilih melakukan pola tanam dengan monokultur, dan hanya 40% petani melakukan pola tanam dengan tumpang sari. Petani melakukan tumpang sari tanaman jambu biji dengan berbagai macam jenis, seperti ubi jalar, singkong, bengkuang, jagung, terong, talas, pepaya, kacang tanah, dan mangga. Tanaman tumpang sari ini ditanam bersamaan dengan jambu biji. Jika tanaman tumpangsari telah panen diganti dengan tanaman tumpangsari jenis lain.
Petani tidak hanya melakukan tumpang sari sampai umur tanaman jambu biji 2 tahun saja, melainkan ada yang lebih dari 2 tahun. Pola tanam tumpang sari ini selain menguntungkan karena memberi hasil tambahan juga untuk menjaga agar tanaman jambu biji tetap terawat dan akan sedikit gulma yang tumbuh karena telah terganti dengan tanaman baru.
Pengolahan Tanah dan Penanaman
Pengolahan dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu tanah digemburkan dan dibersihkan dari sampah dan gulma. Sebagian dari petani responden membuat lubang tanam terlebih dahulu. Lubang tanam dibuat sekitar 2 minggu sampai 1 bulan sebelum tanam, tetapi ada juga petani yang membuat lubang tanam dan langsung menanam jambu biji. Menurut Soedarya (2010), tanah hasil galian dibagi menjadi dua, lapisan bawah dibiarkan selama satu minggu sampai 15 hari agar terkena sinar matahari untuk menghilangkan bibit penyakit sekaligus mengurangi sifat asam pada tanah tersebut. Tanah kemudian dicampur dengan pupuk kandang berupa kotoran kambing dengan dosis 15 sampai 25 kg per lubang tanam, dibiarkan selama satu minggu kemudian tanaman jambu biji segera ditanam dan dibumbun dengan tanah agar bibit tidak rebah. Tanaman jambu biji yang ditanam dengan tumpang sari, terlebih dahulu dibuat guludan untuk komoditas yang akan ditanam sebagai tumpang sari. Jarak tanam yang digunakan oleh petani responden cukup bervariasi, diantaranya 2 x 2; 3 x 3; 3 x 5; 4 x 4; 5 x 5; 5 x 6 m. Jambu biji dengan
jarak tanam 2 x 2 m kurang baik, karena terlalu rapat sehingga apabila sudah berusia 2 tahun kanopi saling menutupi.
Pemupukan
Pemberian pupuk dilakukan dengan tujuan menyuburkan tanah dan menjaga kelembapan tanah. Pemupukan pada umumnya dilakukan antara 2 sampai 4 kali dalam setahun. Pupuk utama yang digunakan yaitu pupuk organik dan ditambah dengan pupuk anorganik. Semua petani responden melakukan pemupukan dengan menggunakan pupuk organik yaitu kotoran kambing. Dosis yang digunakan antara
15 sampai 50 kg per tanaman. Menurut Sutejo (2002), pupuk organik mempunyai fungsi yang penting dibandingkan dengan pupuk anorganik yaitu dapat menggemburkan lapisan permukaan tanah (topsoil), meningkatkan populasi jasad renik, mempertinggi daya serap dan daya simpan air, yang secara keseluruhan dapat meningkatkan kesuburan tanah. Menurut Soedyanto (1986),pemupukan yang baik sebaiknya diaplikasikan pada waktu air tanah dalam jumlah yang cukup, tidak kering dan tidak mengalir. Dengan memperhatikan jenis tanaman dan dosis aplikasi pupuk dalam jumlah yang berbeda serta efisiensi penggunaan pupuk yang juga tergantung dari waktu pemberian. Dosis dan aplikasi pemupukan oleh petani responden bergantung pada umur tanaman dan varietas jambu biji serta keadaan ekonomi petani. Sebagian petani juga mengaplikasikan pupuk anorganik antara lain urea, ZA,TSP, KCL, NPK, Phonska dan Mutiara dan diaplikasikan antara 3 sampai 6 bulan sekali
Pupuk kandang yang digunakan adalah pupuk kandang kambing yang berasal dari peternak dan pupuk anorganik diperoleh petani dengan membeli di supplier.
Petani mengaplikasikan pupuk dengan cara dicampur. Dosis yang diaplikasikan pun beragam mulai dari 300 sampai 1 000 gram per tanaman atau 500 kg per ha. Petani juga menggunakan pupuk cair seperti Gandasil B, Gandasil C, dan super KCL.
Pengendalian Gulma
Petani yang menanam jambu biji dengan tumpangsari melakukan pengendalian gulma secara intensif baik secara manual maupun mengendalikan gulma menggunakan herbisida dan gabungan pengendalian gabungan baik secara manual dan menggunakan herbisida.
Penyiangan gulma pada pertanaman jambu biji yang sudah mencapai umur 1 tahunan atau lebih, gulma tidak dibabat sampai habis, melainkan hanya di sekeliling tanaman jambu biji. Pengendalian gulma tidak dijadwalkan karena pertumbuhan gulma yang berbeda pada pertumbuhan setiap tanaman jambu biji. Jika gulma sudah terlihat tinggi maka pengendalian segera dilakukan. Pengendalian dengan menggunakan herbisida oleh petani pada masa pertanaman dilakukan dengan interval 2 bulan sekali.
Pengendalian Hama dan Penyakit
Budidaya yang dilakukan petani dapat mempengaruhi munculnya hama dan penyakit. Hama yang ditemukan pada pertaman jambu biji seperti kepik penghisap (Hemiptera: Miridae), belalang (Orthoptera: Acrididae), ulat kantung (Lepidoptera: Psychidae), ulat jengkal (Lepidoptera: Geometridae), ulat pucuk (Lepidoptera: Pyralidae), kututempurung (Hemiptera: Coccidae), wereng pucuk (Hemiptera: Flatidae), dan kutu putih (Hemiptera: Pseudococcidae). Hama menggigit mengunyah lebih banyak ditemukan pada varietas bangkok putih sedangkan hama menusuk menghisap lebih banyak ditemukan pada varietas getas merah. Peyakit yang ditemukan adalah penyakit karat merah akibat alga hijau (Cephaleuros sp.), antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides), serta kanker buah (Pestalotia sp.). Penyakit karat merah lebih dominan pada kedua lahan dibanding penyakit antraknosa maupun kanker buah.
Helopeltis sp menjadi hama yang sangat penting karena dapat menyebabkan kerusakan secara langsung dan kerugian mencapai 50%. Helopeltis sp. lalat buah (Diptera : Tephritidae) juga merupakan hama utama tanaman jambu biji, dengan pengendalian dengan cara membungkus buah sehingga lalat buah tidak dapat menyerang.
Pembungkusan buah sekaligus dapat mengendalikan Helopeltis sp., kanker buah (Pestalotia sp.) dan antraknosa.
Penyemprotan dengan menggunakan pestisida bertujuan untuk menghindari tumbuhnya penyakit atau mengurangi hama. Penyemprotan dilakukan apabila terlihat gejala serangan hama atau penyakit. Penggunaan pestisida tergantung dari para petani itu sendiri. Beberapa petani tidak menggunakan pestisida untuk kegiatan usahatani jambu getas merah, namun pada petani yang lain, mereka memilih untuk menggunakan pestisida pada tanaman mereka untuk mengendalikan hama. Jenis pestisida yang digunakan adalah dengan merek dagang Decis (Deltametrin) untuk menghilangkan hama semut dan rayap.
Selain itu, petani juga menggunakan Dursban (Klorpirifos), Basban (Klorpirifos), Protex (Profenofos), Curacron (Profenofos), Dimacide (Dimetoat), Starlet (Bisultap), Dense (Metil Tiofanat), Propanil (Propineb), Matador (Sihalotrin), Marshal (Karbosulfan), Sancord (Sipermetrin), dan Top Ban (Klorpirifos).
Penggunaan pestisida dilakukan dengan cara disemprotkan ke permukaan daun dan batang tanaman jambu biji. Penyemprotan dilakukan pada pagi hari. Ratarata penyemprotan pestisida oleh petani pemilik dan petani penyewa dilakukan sekali dalam satu minggu dan kegiatan tersebut berlangsung selama dua bulan
berturut-turut dalam satu kali musim panen. Dalam 1 tahun, jambu getas merah dapat dipanen dibanyak dua kali. Ini berarti, dalam satu tahun petani pemilik dan petani penyewa melakukan penyemprotan pestisida sebanyak 32 kali atau sebanyak 16 kali setiap musim panen. Rata-rata konsentrasi pestisida Decis yang digunakan adalah satu mililiter per satu liter air.
Pemangkasan
Pemangkasan ujung-ujung cabang bertujuan
- membentuk kanopi yang baik sehingga akan meningkatkan produksi, biasanya pemangkasan dilakukan setelah panen agar tunas baru yang akan tumbuh dapat berkembang lebih baik,
- batang yang jelek, kering, mati, layu atau terkena penyakit agar tidak menyebar ke bagian pohon lainnya, dan
- membuang tunas air.
Pemangkasan memiliki beberapa tujuan dan manfaat antara lain:
- mengurangi tajuk tanaman agar tidak terlalu rimbun sehingga cahaya matahari tidak menghalangi bagian tanaman jambu biji yang berada di bawahnya. Menurut Nakasone & Paull (1999), Cahaya matahari dapat merangsang terbentuknya tunas baru, sehingga produksi buah tinggi
- mengatur produksi dan umur produksi tanaman
- membentuk tajuk seimbang sehingga tanaman kokoh;
- membentuk tanaman sehingga memudahkan pemanenan (menghemat waktu, biaya, dan tenaga);
- menjaga ukuran buah (semakin jauh dari batang utama, ukuran buah akan semakin kecil karena aliran hara dari akar akan semakin jauh).
Pembungkusan Buah
Setelah tanaman jambu biji berumur sekitar 6 bulan, jambu biji akan segera berbuah. Pembungkusan buah dengan kertas koran dan plastik bertujuan untuk membantu mengurangi serangan hama (kelelawar, lalat buah, Helopeltis sp., ulat), dan melindungi buah dari sinar matahari untuk mengurangi penguapan. Selain itu kulit buah yang dibungkus akan menjadi lebih mulus, mengkilap, dan lebih cepat ranum. Pembungkusan dilakukan pada buah yang telah sebesar bola pingpong yaitu dengan diameter buah sekitar 2 sampai 3.5 cm atau berumur sekitar 1 sampai 1.5 bulan setelah bunga mekar. Pembungkusan buah umumnya dilakukan pada pagi hari antara pukul 7 sampai 10 pagi atau tergantung banyaknya buah yang dibungkus.
Semua petani menggunakan plastik dan koran untuk pembungkusan buah.
Plastik dan koran merupakan bahan yang murah dan mudah didapat. Plastik yang digunakan antara lain berukuran 16 x 20 cm, 17 x 35 cm, dan 20 x 35 cm (jambu putih). Di dalamnya diberi koran untuk menghindari terpaan panas matahari langsung pada buah. Sebelum pembungkusan buah beberapa petani melakukan penyemprotan buah dengan pestisida. Sebagian dari petani juga melakukan penjarangan buah terhadap buah-buah yang muncul lebih dari satu, agar ukuran buah dapat maksimal dan ranting tidak terlalu berat menyangga buah tersebut. Namun ada juga petani yang membiarkan semua buah berkembang sampai panen, karena penjarangan buah menurut petani dapat mengurangi jumlah panen.
Pemanenan
Pemanenan dilakukan apabila buah jambu biji telah matang, ditandai dengan tangkai buah tampak kekuningan dan kulit buah bertekstur halus dan tipis, warna buah telah berubah dari hijau pekat menjadi hijau muda keputihan (baik varietas getas merah maupun bangkok putih), daging buah agak lunak dan berwarna merah muda untuk varietas getas merah dan berwarna putih untuk varietas bangkok putih.
Apabila jambu biji akan dikirim ke pasar besar atau untuk ekspor, pemanenan dilakukan pada saat buah jambu biji masih matang fisiologis.
Selama setahun tanaman jambu biji dapat berbunga sampai tiga kali, sehingga periode panen besar yaitu pada saat awal buah jambu biji matang secara bersamaan bisa terjadi 2 kali dalam setahun pada tanaman yang telah tumbuh secara produktif. Cara pemanenan yang baik yaitu dipetik berserta tangkainya dan dapat juga dilakukan pemangkasan secara bersamaan. Biasanya pemanenan dilakukan dengan menggunakan alat bantu gunting pangkas atau dipetik secara langsung. Waktu pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari karena bobot buah pada pagi hari dalam keadaan optimal akibat penimbunan zat makanan pada malam hari dan buah belum terkena sinar matahari, sehingga belum terjadi penguapan.
Jambu biji merupakan tanaman yang berbuah sepanjang tahun, sehingga pemanenan buah
dapat dilakukan 2 sampai 3 hari sekali (varietas getas merah) dan 4 sampai 5 hari sekali (varietas bangkok putih) sepanjang tahun.
Hama Tanaman Jambu Biji
Hama yang ditemukan di pertanaman jambu biji baik pada varietas getas merah maupun bangkok putih antara lain kutu putih, kutu tempurung, belalang, wereng pucuk, kepik penghisap, ulat kantung, ulat pucuk, ulat jengkal, dan semut.
Hama Menggigit Mengunyah
Belalang (Orthoptera: Acrididae). Belalang yang ditemukan pada jambu biji varietas bangkok putih merupakan genus Valanga sp . Hama ini dapat menyerang pertanaman terutama pada daun yang masih muda. Belalang ditemukan pada lahan jambu biji yang saat itu berada pada fase vegetatif.
Gejala serangan berupa daun yang berlubang dan menyisakan tulang daun. Belalang yang banyak ditemukan berupa nimfa.
Lama hidup Valanga sp. mencapai 3 sampai 5 bulan dengan keperidian ratarata mencapai 158 butir telur per betina (Kok 1971; Kalshoven 1981). Telur berwarna coklat diletakkan di dalam tanah sedalam 5 sampai 8 cm dan dilapisi dengan massa busa yang mengeras. Nimfa muncul pada pagi hari dan kemudian naik ke pertanaman, dan aktif di siang hari (Kalshoven 1981).
Cakupan inang yang luas serta keperidian yang relatif tinggi mendukung pesatnya perkembangbiakan hama ini. Di sisi lain pengendalian hama ini cukup sulit. Beberapa cara pengendalian yang dapat dilakukan di antaranya adalah dengan menanam tanaman penutup tanah (cover crop) agar mengurangi tempat peneluran belalang. Pengendalian mekanik terhadap kelompok telur di dalam tanah dan nimfa yang baru menetas juga dapat menekan perkembangan belalang ini (Kalshoven
1981).
Ulat Kantung (Lepidoptera: Psychidae).
Larva dari ulat kantung memakan daun muda terutama pada bagian bawah daun, sehingga mengakibatkan daun berlubang dan kering (Gambar 6a). Gejala kerusakan pada daun disebabkan aktivitas makan larva pada lapisan epidermis bawah dan jaringan mesofil dengan menyisakan epidermis atasnya mengakibatkan window panning. Sisa epidermis atas tersebut lalu mengering dan menyisakan tulang daun (Emmanuel et al. 2012).
Ulat kantung ditemukan pada kedua varietas di pertanaman jambu biji. Ulat kantung yang ditemukan merupakan spesies yang berbeda.
Ulat kantung dari famili Psychidae memiliki sekitar 1 000 spesies. Kantungkantung biasanya dibuat dari potongan daun, ranting, pasir, dan bahan lain yang ada di sekitar ulat kantung tersebut. Bahan-bahan yang akan menjadi kantung direkatkan menggunakan sutera yang dikeluarkan oleh ulat kantung (Rhainds et al. 2009). Ulat kantung spesies 1 berukuran lebih besar dibanding ulat kantung spesies2. Ulat kantung spesies 1 berada pada ranting, sedangkan ulat kantung spesies 2 berada pada daun. Menurut Kalshoven (1981) kantung-kantung yang ditemukan pada famili Psyichidae memiliki bentuk yang bermacam-macam, hal tersebut dikarenakan setiap spesies ulat kantung memiliki ciri khas tersendiri, sehingga kantung-kantung tersebut berguna untuk mengidentifikasi spesies serangga ini. Terdapat dua lubang pada ulat kantung yaitu lubang anterior dan posterior. Larva akan mengeluarkan kepala dan tungkai asli yang terdapat pada toraks pada saat makan atau berpindah tempat melalui lubang anterior, sedangkan feses akan dikeluarkan melalui lubang posterior. Teknik pengendalian ulat kantung adalah, dengan cara
- mekanik/fisik, yaitu mengambil secara langsung ulat kantung dan membunuhnya. Pengendalian secara fisik dilakukan dengan cara mengatur faktor-faktor fisik yang dapat mempengaruhi perkembangan ulat kantung sehingga tercipta kondisi yang tidak ideal bagi perkembangbiakannya,
- biologis, yaitu menggunakan musuh alami berupa predator, parasitoid, dan patogen. Predator ulat kantung adalah Sycanus macracanthus (Hemiptera : Reduviidae). Parasitoid yang dapat digunakan adalah Pediobius elasmi (Hymenoptera : Eulophidae), dan Brachymeria carinata (Hymenoptera : Chalcididae). Patogen yang dapat digunakan adalah Beauveria bassiana (Indriati dan Khaerati 2013).
Ulat Pucuk (Lepidoptera: Pyralidae).
Ulat pucuk menyerang daun muda atau pucuk daun jambu biji dengan melipat beberapa helai daun. Larva hama ini menyerang daun dengan menggerigit dari dalam jalinan daun, sehingga kerusakan yang ditimbulkan berupa kerusakan pucuk yang diselimuti benang-benang halus berwarna putih. Ulat pucuk ditemukan pada kedua varietas di pertanaman jambu biji. Ulat pucuk merupakan hama menggigit-mengunyah yang paling dominan
menyebabkan kerusakan pada pucuk daun.
Gejala lanjut yang ditimbulkan oleh hama ini adalah kematian jaringan daun atau pucuk tanaman jambu biji akibat gigitan, daun muda dan tangkai daun berlubang-lubang karena bekas gigitan larva dari dalam lipatan .
Menurut Eriza (2015), selain menyerang daun muda dan pucuk daun, ulat pucuk juga menyerang bunga yang belum mekar pada pertanaman fase generatif di pertanaman jambu. Larva hama ini memiliki panjang tubuh sekitar 20 mm, berwarna hijau muda kekuningan, dan pada punggungnya terdapat garis berwarna kecoklatan. Larva tersebut hidup di dalam lipatan daun sampai stadia pupa. Pupa berwarna coklat tua dan bertipe obtekta berukuran sekitar 18 mm.
Upaya pengendalian ulat pucuk di pertanaman jambu biji sudah dilakukan oleh petani setempat. Namun menurut Supriatna (2014), hal tersebut tidak berpengaruh terhadap kelimpahan hama ulat pucuk yang ada di lapangan. Hal tersebut dikarenakan, ulat pucuk mampu membuat barrier atau lipatan daun yang akan menghalangi dan melindungi ulat pucuk dari paparan insektisida saat penyemprotan dilakukan.
Ulat Jengkal (Lepidoptera: Geometridae).
Ulat jengkal ditemukan pada pertanaman jambu biji varietas getas merah. Setiap jenis ulat jengkal memiliki bentuk yang khas serta warna tubuh dan ukuran yang berbeda-beda. Ulat jngkal yang ditemukan memiliki bentuk yang berukuran sedang, dan memiliki warna tubuh hitam .
Gejala serangan yang ditimbulkan dari hama ini adalah daun berlubang akibat aktivitas makannya. Imago atau serangga dewasa berupa ngengat berwarna coklat kusam kotor.
Ngengat umumnya aktif pada malam hari sedangkan pada siang hari lebih banyak beristirahat pada bagian tanaman yang agak tersembunyi. Imago mulai meletakkan telur pada umur 2 sampai 3 hari. Telur berbentuk bulat berukuran 0.5 mm mulamula bening kemudian berubah menjadi putih kekuningan saat akan menetas. Telur diletakkan sendiri-sendiri atau berkelompok pada daun atau tangkai daun. Stadia telur berlangsung kurang lebih 1 minggu. Larva dewasa mempunyai bentuk tubuh kecil pada bagian anterior (kepala) dan membesar ke atah posterior (ujung abdomen). Larva mempunyai kaki sejati yang runcing sebanyak 3 pasang pada bagian depan tubuhnya, serta 3 pasang kaki semu yang bulat, pada bagian belakang tubuhnya.
Larva mempunyai ciri yang khas pada saat berjalan, yaitu seperti orang menjengkal, sehingga dikenal sebagai "ulat jengkal". Larva dewasa mempunyai ukuran tubuh mencapai 35 mm. Menjelang pra pupa, larva membuat anyaman dari benang halus berwarna putih dari air liur nya untuk melindungi tubuhnya selama menjadi pupa, benang-benang tersebut direkatkan pada daun atau ranting pada bagian pucuk tanaman (Siswanto dan Wiratno 1998).
Pengendalian ulat jengkal yang telah dilakukan petani adalah menggunakan insektisida. Penggunaan insektisida untuk mengendalikan serangga hama masih menjadi pilihan utama petani karena insektisida dapat dengan cepat menurunkan populasi hama dan dapat dipergunakan setiap saat dan di mana saja. Namun penggunaan insektisida yang berlebihan juga menimbulkan dampak yang tidak diinginkan antara lain: hama berkembang menjadi resisten terhadap insektisida, organisme bukan sasaran termasuk predator dan parasitoid juga ikut mati menimbulkan ledakan hama sekunder, residu insektisida mencemari tanaman, tanah, air dan udara serta menimbulkan fenomena resurjensi yaitu jumlah populasi
keturunan hama itu menjadi lebih banyak bila tidak diperlakukan dengan insektisida (Oka 2005).
Menurut Oka (2005), pengendalian hama secara terpadu yang dapat dilakukan adalah
- mengusahakan pertumbuhan tanaman sehat dengan cara mengatur pola tanam, pergiliran tanam, sanitasi, pemupukan, pengelolaan tanah dan pengairan serta menggunakan tanaman perangkap,
- pengendalian hayati menggunakan predator, parasitoid, patogen serangga,
- penggunaan varietas tahan, (4) pengendalian mekanis, menanam tanaman penghalang, menggunakan alat perangkap,
- pengendalian secara sifik (suhu panas, dingin, suara, kelembaban, perangkap cahaya), (6) pengendalian secara genetik (teknik jantan mandul).
Hama Menusuk Menghisap Helopeltis sp
Helopeltis sp. (Hemiptera: Miridae). Hama ini ditemukan pada pertanaman jambu biji varietas getas merah. Hama yang memiliki alat mulut menusuk menghisap ini menyerang pucuk dan buah. Bekas tusukan pada buah menyebabkan bercak nekrotik hitam yang akan membekas sampai buah tersebut matang. Serangan berat dapat menyebabkan buah yang masih kecil menghitam, mengering hingga mati. Biasanya buah yang masih kecil tidak dapat berkembang
dengan baik dan kemudian rontok sehingga dapat mengurangi produksi. Kerusakan akibat hama ini menurut petani sangat merugikan apabila tidak dilakukan pencegahan yaitu membungkus buah yang masih kecil.
|
Serangan Helopeltis pada Jambu Biji
|
Menurut Wiratno et al. (1996), telur Helopeltis sp. diletakkan dalam jaringan muda sehingga pada saat menetas, nimfa dapat menemukan makanannya secara langsung. Telur memiliki dua helai benang berwarna putih dengan panjang berbeda yang muncul pada permukaan bagian tanaman tempat telur diletakkan. Stadia telur rata-rata berlangsung selama tujuh hari. Nimfa serangga ini terdiri atas lima instar dan mengalami lima kali pergantian kulit. Lama stadia instar satu sampai lima bervariasi yakni antara dua sampai empat hari.
Nimfa berwarna cokelat, tidak bersayap dan memiliki antena yang terdiri atas empat ruas yang panjangnya hampir dua kali panjang tubuhnya. Nimfa memiliki sifat kurang aktif dan mudah ditangkap.
Apabila diganggu nimfa akan bersembunyi dibalik batang, daun atau bagian-bagian terlindung lainnya. Imago kepik berwarna kehitaman, memiliki sayap dan bagian bawah abdomen berwarna putih keperakan. Imago jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat warna toraks dan ukuran tubuhnya. Toraks imago jantan berwarna merah kehitaman sedangkan imago betina berwarna merah cerah. Ukuran imago jantan lebih kecil dari imago betina. Hama ini mampu bertelur sebanyak 1 sampai 18 butir perhari dengan rata-rata jumlah telur selama hidupnya adalah 80 butir (Kalshoven 1981).
|
Jambu Biji terserang Helopeltis
|
Kepik memiliki aktivitas makan dan pergerakan yang baik. Serangga ini dapat berperan memencarkan inokulum cendawan Pestalotia sp. yang telah ada di pertanaman atau dari pertanaman satu ke pertanaman lain. Kepik ini sering diasosiasikan dengan penyakit kanker buah. Bekas tusukan kepik dapat menjadikan
cendawan parasit luka mudah menginfeksi buah, dan penyebarannya dibantu karena aktivitas pergerakannya
- Pengendalian yang telah dilakukan oleh petani adalah dengan membungkus buah ketika masih berukuran kecil. Menurut Atmadja (2003), pengendalian yang dapat dilakukan adalah pengendalian secara mekanis yaitu menangkap Helopeltis sp. dan membungkus buah dengan kantong plastik.
- pengendalian kultur teknis yaitu pemupukan yang tepat dan teratur, pemangkasan, sanitasi tanaman inang, serta pemilihan bibit unggul.
- pengendalian secara hayati yaitu penggunaan musuh alami berupa Beauveria bassiana.
Kutu putih (Hemiptera: Pseudococcidae).
Kutu putih ditemukan pada kedua varietas jambu biji baik pada bagian buah, daun, tangkai maupun ranting. Hama ini merusak jaringan tanaman dengan mekanisme mulut yang menusuk menghisap.
Permukaan tubuh hama ini selalu tertutupi oleh lapisan lilin yang berguna untuk melindungi dirinya dari lingkungan luar. Kutu putih yang ditemukan
memiliki genus yang berbeda yaitu, Ferrisia virgata yang sering dijumpai pada pertanaman jambu biji dan Rastrococcus spinosus.
Ferrisia virgata merupakan kutu yang polifag. Dalam kondisi tropis dapat bereproduksi dengan cukup cepat dan pada iklim subtropis masih dapat ditolerir.
Kutu ini telah dilaporkan pada tanaman inang yang memiliki lebih dari 203 genus di 77 famili, dan dapat merusak banyak tanaman, terutama buah-buahan tropis, kacang-kacangan dan tanaman rempah-rempah serta tanaman seperti kedelai dan tomat (CABI 2016).
|
Ferrisia virgata
|
Menurut CABI (2016), R. spinosus telah mejadi hama penting pada jambu, mangga, pisang, jeruk, Annona squamosa dan tanaman lainnya.
|
Rastrococcus spinosus. |
Kutu putih menghisap cairan bagian buah atau daun tanaman jambu biji, menutupi permukaan bagian tanaman dengan lilinnya dan sebagian menghasilkan embun madu. Kutu putih F. virgata dan R. spinosus berasosiasi dengan semut. Semut memanfaatkan embun madu untuk makanannya, sehingga semut tersebut membantu melindungi kutu putih dari serangan predator juga membantu penyebarannya. semut bagi petani merupakan pengganggu ketika buah akan dipanen. Embun jelaga menyebabkan permukaan daun menjadi hitam dan permukaan daun tersebut terhalang dari sinar matahari langsung yang menyebabkan proses fotosintesis terganggu.
Pengendalian kutu putih yang telah dilakukan petani adalah dengan penyemprotan menggunakan detergen.
Menurut petani penyemprotan ini efektif karena apabila setelah disemprot daun menjadi bersih dan tidak lagi terdapat kutu putih. Namun pengendalian dengan cara ini harus dilakukan sejak awal, karena dalam satu minggu satu ekor kutu putih dapat berkembangbiak hingga menutupi seluruh permukaan daun.
Kutu tempurung (Hemiptera: Coccidae).
Kutu tempurung ditemukan pada pertanaman jambu biji varietas getas merah dalam jumlah yang sedikit. Kutu ini berwarna hijau dan berada pada buah yang berukuran sebesar bola pingpong yaitu dengan diameter buah sekitar 2 sampai 3.5 cm atau berumur sekitar 1 sampai 1.5 bulan setelah bunga mekar. Kutu tempurung menyerang daun tua terutama pada bagian yang dekat tulang daun (Kalshoven 1981).
|
Kutu Tempurung pada Jambu Biji
|
Menurut Soetopo (1988), kutu tempurung banyak ditemukan pada tanaman umur muda, pada daun atau ranting yang masih berwarna hijau. Pada daun, kutu berada di bagian permukaan bawah daun, terutama pada pertulangan daun. Kutu ini merupakan perusak pucuk yang dapat menyebabkan gugurnya daun dan menggaggu proses respirasi serta asimilasi pada tanaman.
Kerusakan secara tidak langsung adalah timbulnya embun jelaga pada permukaan tanaman yang terserang kutu. Kutu tempurung mengeluarkan embun madu dari badannya yang menjadi media pertumbuhan cendawan embun jelaga. Cendawan ini menutupi daerah respirasi dan asimilasi di permukaan daun yang akhirnya melemahkan tanaman. Selain cendawan embun jelaga, asosiasi embun madu lain adalah semut yang sedikit mengganggu saat pemetikan. Kutu berbentuk pipih lonjong dengan panjang 4 sampai 5 mm, berwarna hijau (Poole 2005). C. viridis merupakan serangga polifagus, penyebarannya di seluruh wilayah tropis dan subtropis.
Pengendalian yang telah dilakukan petani adalah dengan penyemprotan menggunakan detergen dan pestisida. Namun pengendalian ini kurang efektif karena serangga ini melindungi telurnya dengan menggunakan tempurung sehingga sulit dikendalikan dengan pestisida kontak.
Wereng pucuk (Hemiptera: Flatidae).
Wereng pucuk ditemukan pada pertanaman jambu biji varietas getas merah. Wereng pucuk ini berwarna hijau keputihan. Imago meletakkan telur secara berkelompok 30 sampai 80 butir di permukaan bawah daun, tangkai daun, dan tangkai pucuk kelompok telur tertutupi lapisan lilin berwarna putih atau krem. Telur berbentuk oval, panjang 0.91 sampai 1.09 mm dan lebar 0.37 sampai 0.47 mm, berwarna putih, kemudian berubah menjadi cokelat menjelang menetas. Stadium telur berlangsung 6 sampai 7 hari. Nimfa berwarna putih kekuningan dan tertutupi tepung lilin berwarna putih.
Nimfa tidak aktif bergerak hanya meloncat dekat bila terganggu. Stadium nimfa berlangsung 42 sampai 49 hari (Ditjen Perkebunan 2012). Nimfa dan imago menyerang dengan cara menusuk menghisap cairan tanaman. Pada pucuk dan tangkai bunga, bekas serangan berupa titik-titik hitam agak menonjol seperti bisul, yang bila dibelah akan terlihat tusukan tersebut mencapai floem dan xylem yang mengakibatkan aliran zat hara menuju bunga terganggu. Jika popilasi tinggi serangan wereng pucuk pada tangkai bunga dapat mengakibatkan bunga mengering dan gagal menjadi buah. Selain itu akibat serangan hama tersebut permukaan daun banyak ditumbuhi oleh cendawan jelaga karena adanya embun madu yang ihasilkannya sehingga mengganggu proses fotosintesis (Ditjen Perkebunan 2012).
Pengendalian yang dapat dilakukan adalah
- pengendalian secara mekanis yaitu dengan mengumpulkan kelompok telur yang terdapat pada permukaan daun bagian atas dan bawah serta pucuk, lalu dimusnahkan. Pengendalian tersebut akan efektif jika jumlah telur masih sedikit.
- pengendalian secara biologis yaitu dengan memanfaatkan musuh alami seperti laba, kumbang Coccinelidae, belalang sembah sebagai predator, Aphanomerus sp. (Hymenoptera: Platigasteridae) sebagai parasitoid, dan Synnematium sp dan Hirsutella sp. sebagai cendawan entomopatogen (Ditjen Perkebunan 2012).
Lalat buah (Diptera : Tephritidae)
Selain Helopeltis sp. menurut Gould & Raga (2002), hama yang merupakan hama utama pada pertanaman jambu biji di berbagai negara adalah lalat buah. Larva dari lalat buah ini merusak buah dari tanaman inang, dan menyebabkan buah menjadi busuk dengan lebih cepat (Meritt et al. 2003). Lalat buah betina meletakkan telur pada jaringan buah dengan menusukkan ovipositornya ke dalam daging buah. Pada masa perkembangannya, khususnya jika populasinya tinggi larva akan masuk sampai ke bagian dalam (pulp) buah jambu biji (Gould & Raga 2002). Buah yang terserang larva lalat buah akan cepat membusuk dan gugur sebelum matang. Buah yang gugur ini akan menjadi sumber infestasi lalat buah generasi
berikutnya karena larva akan berkembang menjadi pupa di tanah dan kemudian berkembang menjadi imago (Ginting 2009).
Namun berbeda saat pengamatan karena tidak ditemukannya hama lalat buah. Hal ini disebabkan karena petani telah melakukan pengendalian dengan cara membungkus buah sehingga lalat buah tidak dapat menyerang. Pembungkusan buah sekaligus dapat mengendalikan Helopeltis sp.
Penyakit Tanaman Jambu Biji
Penyakit yang ditemukan pada lahan pengamatan baik pada jambu biji varietas getas merah maupun bangkok putih adalah karat merah (Cephaleuros sp.), antraknosa (Colletotrichum sp.) dan kanker buah (Pestalotia sp.).
Karat merah (Cephaleuros sp.)
Penyakit karat merah merupakan penyakit yang disebabkan oleh alga Cephaleuros sp. Alga menyebabkan bercak pada daun, bunga, buah, ranting dan batang. Penyakit ini sering disebut karat merah karena pada permukaan atas daun ditumbuhi talus yang tegak, dengan filamen berwarna kuning hingga merah. Daun diinfeksi pada bagian tepi, pinggir atau seringkali pada area dekat tulang daun (Misra 2004). Bercak pada daun dapat berupa titik kecil sampai bercak yang besar; menyatu atau terpencar. Menurut Semangun (1994), bercak berbentuk bulat, berwarna coklat kemerahan. Alga hijau ini mempunyai benang-benang yang masuk ke bagian dalam jaringan tanaman yang dilekatinya sehingga pada permukaan daun bercak akan tampak seperti beludru. Talus tersebut rata, pendek, rapat dan penuh dengan filamen yang bercabang.
Di bawahnya terdapat rizoid bercabang yang tidak teratur . Filamen tumbuh mulai dari tepi bercak kemudian memenuhi seluruh permukaan bercak. Sebagian besar badan buah (terlihat) jelas yang terdiri dari 1 sampai 8 filamen multiseluler yang tegak lurus (Misra 2004). Setiap pedisel menghasilkan sporangium berbentuk buah pir atau hampir bulat yang akhirnya akan memencarkan 8 sampai 32 spora motil biflagelat Berdasarkan hasil pengamatan penyakit karat merah ditemukan pada kedua varietas di pertanaman jambu biji. Keberadaan penyakit karat merah menjadi penyakit yang dominan pada kedua lahan yang berbeda varietas tersebut. Rata-rata keparahan penyakit pada varietas getas merah sebesar 42.21% dan varietas bangkok putih sebesar 38.05% dan tidak berbeda nyata pada uji t.
Pengendalian karat merah dapat dilakukan dengan penyemprotan tembaga oksiklorida (0,3%) 3 sampai 4 kali dengan interval 15 hari (Misra 2004). Selain itu penggunaan jarak tanam yang tidak rapat dapat mengurangi penyebaran karat merah.
|
Serangan karat merah pada Jambu Biji
|
Antraknosa Colletotrichum gloeosporioides.
Penyakit antraknosa disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp. Gejala penyakit antraknosa pada tanaman jambu biji terlihat dengan munculnya bercak nekrotik pada buah muda yang kemudian berkembang hingga ke seluruh permukaan buah sehingga buah menjadi berwarna hitam dan busuk.
Gejala pada tunas menyebabkan perubahan warna dari hijau menjadi coklat tua. Bercak coklat tersebut kemudian menjadi bercak nekrotik berwarna hitam yang dapat berkembang ke bagian pangkal sehingga menyebabkan mati ujung (Misra 2004).
Buah jambu biji yang mentah dapat terinfeksi dan cendawan penyebabnya bisa dorman selama 3 bulan, baru aktif dan menyebabkan pembusukan pada waktu buah mulai matang. Buah jambu biji muda yang terserang menunjukkan gejala bercak-bercak nekrotik yang kemudian akan menyatu, buah akan matang secara terpaksa dan kemudian mengering secara cepat dan terjadi mumifikasi (Amusa et al. 2005). Seringkali buah yang mengeras ini menjadi retak (Misra 2004). Jika buah ini dibuka, kanker terlihat meluas ke bagian dalam buah. Biji yang berasal dari buah yang terinfeksi mengandung patogen (Amusa et al. 2006).
Spesies yang menyerang jambu biji baik pada jambu biji varietas getas merah maupun bangkok putih yaitu Colletotrichum gloeosporioides.
Cendawan Colletotrichum mempunyai tubuh buah berupa aservulus yang menyembul pada permukaan atas buah. Aservulus membentuk banyak konidium seperti massa lendir. Konidiumnya tidak berwarna, bersel 1, jorong memanjang, terbentuk pada ujung konidiofor yang sederhana. Pada saat berkecambah konidium yang bersel 1 tadi membentuk sekat. Pembuluh kecambah membentuk apresorium sebelum mengadakan infeksi. Diantara konidiofor biasanya terdapat rambut-rambut (seta) yang kaku dan berwarna cokelat tua (Semangun 2000).
Pengendalian yang dilakukan petani berupa sanitasi. Buah yang bergejala biasanya dipetik dan kemudian dipisahkan di pinggir lahan agar tidak menular pada buah yang masih sehat. Menurut Misra (2004) pengelolaan terhadap penyakit antraknosa adalah dengan menggunakan varietas tahan. Selain itu, pengendalian dapat dilakukan dengan aplikasi pestisida berbahan aktif benomil dan karbendazim pada pertanaman maupun pada buah yang telah dipanen dengan dicampur air panas (Lim & Manicom 2003).
0 Response to "Mengenal Jambu Biji, Psidium guajava, Budidaya dan Manfaatnya"
Post a Comment