REVITALISASI USAHA PERBENIHAN TANAMAN HUTAN DALAM RANGKA MENDUKUNG KEBERHASILAN PROGRAM PEMBANGUNAN BERBASIS PENANAMAN : KONSEP DAN REALITAS
KONSEP DAN REALITAS : REVITALISASI USAHA PERBENIHAN TANAMAN HUTAN
DALAM RANGKA MENDUKUNG KEBERHASILAN PROGRAM
PEMBANGUNAN BERBASIS PENANAMAN
Pengembangan Hulan Lestari |
PENGANTAR
Sesuai Rencana Strategis (Renstra) Kementrian Kehutanan RI Tahun 2010 – 2014 dinyatakan bahwa pembangunan kehutanan dalam lima tahun ke depan adalah mewujudkan visi “Hutan Lestari Untuk Kesejahteraan Masyarakat Yang Berkeadilan”.
Dari perspektif pelaksanaan prioritas pembangunan berbasis Rensta 2010 – 2014 tersebut, maka pembangunan kehutanan ke depan ditujukan guna memberikan dampak pada pemanfaatan sumberdaya hutan untuk pembangunan ekonomi, serta peningkatan kualitas dan kelestarian lingkungan hidup, yang secara bersamaan akan memberikan kontribusi pada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dan peningkatan kualitas lingkungan hidup.
Lebih jauh, pengejawantahan pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang terkait dengan tugas dan fungsi Kementerian Kehutanan diarahkan pada 2 (dua) prioritas bidang. Pertama, Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan sebagai tindak lanjut pencanangan program RPPK pada tahun 2005 yang lalu. Sementara prioritas kedua adalah Peningkatan Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan.
Prioritas kebijakan ini terdiri fokus program
- Peningkatan produksi dan produktivitas untuk memenuhi ketersediaan pangan dan bahan baku industri dari dalam negeri,
- Peningkatan nilai tambah, daya saing, dan pemasaran produk pertanian, perikanan dan kehutanan, serta
- Peningkatan Kapasitas Masyarakat Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Prioritas kebijakan kedua ini mengandung 4 (empat) fokus program,
- Pemantapan kawasan hutan,
- Konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan hutan,
- Peningkatan fungsi dan Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) serta
- Pengembangan penelitian dan iptek sektor kehutanan
Dalam konteks pertama, revitalisasi kehutanan diletakkan pada upaya percepatan pengembangan hutan tanaman –baik hutan tanaman industry, hutan tanaman rakyat maupun hutan rakyat- sebagai sumber bahan baku industri pengolahan kayu nasional sebagai bagian dari program revitalisasi industry kehutanan di era kesejagatan. Sementara dalam konteks konservasi dan rehabilitasi sumberdaya hutan dilakukan melalui program rehabilitasi, restorasi dan reklamasi areal-areal DAS kritis di berbagai kawasan di Indonesia.
Pembangunan HTI |
Dalam konteks capaian geopolitik maupun geostrategic Kementrian Kehutanan, kedua prioritas kebijakan publik tersebut di atas menghasilkan peta para pihak sekaligus memberikan penekanan subyek/pelaku yang relatif berbeda. Revitalisasi kehutanan dalam kerangka penguatan ekonomi dilakukan melalui aktualisasi konsep peningkatan investasi (pro growth) dan penyerapan tenaga kerja (pro job). Dengan kata lain, peran investor dan pengusaha dalam kerangka peningkatan peluang usaha dan penyerapan tenaga kerja menjadi subyek utama .
Sementara konservasi dan rehabilitasi SDH diupayakan bagi terwujudnya konsep pelestarian lingkungan (pro environment) sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat (pro poor). Dalam konteks ini, peran Pemerintah dan pemberdayaan masyarakat menjadi subyek utama.
Perbedaannya dengan pengembangan hutan tanaman di masa lalu, maka pengembangan hutan tanaman periode 2010 – 2014 juga memberikan akses dan asset kepada masyarakat melalui pengembangan hutan tanaman rakyat dengan berbagai skema dan bantuan pendanaan melalui BLUP2H.
Terdapat perbedaan orientasi, dimana kegiatan RHL berbasis Gerhan sepanjang tahun 2003 – 2009 memberikan peran yang cukup besar kepada para pengusaha perbenihan melalui penyediaan bibit GERHAN. Sementara, periode lima tahun ke depan peran penyedia bibit justru diberikan kepada masyarakat melalui program Kebun Bibit Rakyat (KBR).
Penanaman pohon di dalam kawasan hutan selain dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung juga dilakukan di kawasan hutan produksi melalui kegiatan pengembangan hutan tanaman industry dan hutan tanaman rakyat.
Penanaman pohon di luar kawasan hutan antara lain dilakukan melalui pengembangan hutan rakyat, hutan desa dan hutan kemasyarakatan.
Lebih jauh, berdasarkan target yang menjadi prioritas program Renstra Kementrian Kehutanan RI 2010 - 2014, maka pembangunan kehutanan dalam lima tahun ke depan masih akan sangat didominasi oleh kegiatan rehabilitasi, restorasi dan reklamasi (baca : penanaman pohon). Dengan kata lain, program penanaman pohon di berbagai lahan kritis dalam konteks DAS, baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan masih akan menjadi prioritas teknis – politis Kementrian Kehutanan. Sejalan dengan prioritas program rehabilitasi, restorasi dan reklamasi hutan dan lahan, maka kemampuan penyediaan bibit -dalam konteks kuantitas dan kualitas- menjadi salah satu kunci utama keberhasilannya. Setidaknya, dua perspektif fenomena tersebut tercermin dari di”launching”nya Program Penanaman 1 Milyar Pohon atau OBIT Tahun 2010 yang didukung dengan kebijakan pengembangan program Kebun Bibit Rakyat (KBR).
Upaya penanaman pohon di luar kawasan hutan kian besar peluang aktualisasinya pasca ditendatanganinya LoI RI - Norway yang kini telah ditindaklanjuti dengan penerbitan Inpres No. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Interpretasi tersebut selain mempertimbangkan berbagai realitas hukum, tentu saja juga akan sangat tergantung dari kepentingan para pihak.
Perbedaannya dengan pengembangan hutan tanaman di masa lalu, maka pengembangan hutan tanaman periode 2010 – 2014 juga memberikan akses dan asset kepada masyarakat melalui pengembangan hutan tanaman rakyat dengan berbagai skema dan bantuan pendanaan melalui BLUP2H. Terdapat perbedaan orientasi, dimana kegiatan RHL berbasis Gerhan sepanjang tahun 2003 – 2009 memberikan peran yang cukup besar kepada para pengusaha perbenihan melalui penyediaan bibit GERHAN. Sementara, periode lima tahun ke depan peran penyedia bibit justru diberikan kepada masyarakat melalui program Kebun Bibit Rakyat (KBR).
Penanaman pohon di dalam kawasan hutan selain dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung juga dilakukan di kawasan hutan produksi melalui kegiatan pengembangan hutan tanaman industry dan hutan tanaman rakyat. Penanaman pohon di luar kawasan hutan antara lain dilakukan melalui pengembangan hutan rakyat, hutan desa dan hutan kemasyarakatan.
Persoalannya, setiap kebijakan pembangunan kehutanan yang secara yuridis, sosiologis dan filosofis diupayakan untuk mewujudkan visi kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan seringkali menghasilkan interpretasi yang berbeda . Dampak ikutannya adalah respon dan tanggapan para pihak terhadap kebijakan tersebut. Selain menimbulkan pertanyaan bahkan gugatan, kebijakan yang seringkali dinilai tidak adil dan tidak seimbang tersebut (baca : populis), pada akhirnya justru menimbulkan resistensi di kalangan para pihak yang merasa dirugikan. Sebuah situasi yang tentu saja sangat tidak diharapkan karena akan berdampak terhadap dukungan dan harmonisasi interaksi para pihak.
Dalam konteks program pengembangan KBR sebagai bagian dari upaya mensukseskan kesinambungan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan melalui Program Penanaman 1 milyar Pohon, terdapat sinyalemen bahwa kebijakan tersebut sarat dengan kepentingan politis yang bersifat populis. Sebaliknya, kebijakan tersebut oleh sebagian kalangan dinilai mengabaikan bahkan mengancam keberadaan pengusaha perbenihan tanaman hutan/pengedar bibit yang selama ini telah eksis. Karenanya, dialektika tentang pembangunan nasional berbasis penanaman dan revitalisasi pengusaha perbenihan tanaman hutan perlu diletakkan secara obyektif dan propoorsional. Lebih jauh, perlu sebuah upaya cepat dan tepat yang melibatkan semua pihak agar situasi “kuldesak” dalam konteks program pembangunan kehutanan berbasis penanaman bisa tetap berjalan sesuai dengan target yang telah ditetapkan.
PROGRAM GN-RHL : BEBERAPA CATATAN KRITIS
Kajian kebijakan kehutanan dalam konteks revitalisasi usaha perbenihan tanaman hutan guna mendukung keberhasilan program pembangunan berbasis penanaman harus diletakkan dalam perspektif filosofis, yuridis, dan sosiologis. Lebih jauh, agar terdapat kesesuaian ketiga perspektif tersebut, maka perlu kiranya dilakukan kajian kesesuaian antara konsep dengan realitas.
Dalam konteks filosofis, apakah kebijakan pembangunan kehutanan yang ditetapkan telah sesuai dengan ideologi kehutanan yang meliputi kelestarian hutan dan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks tersebut, harus dikaji apakah pembangunan berbasis penanaman merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat, termasuk masyarakat desa hutan yang umumnya masuk ke dalam kategori miskin , disamping peningkatan kualitas lingkungan hidup. Sementara, dalam konteks yuridis perlu dikaji apakah penetapan kebijakan pembangunan berbasis penanaman bersifat konsisten dan non diskriminasi sehingga tidak menimbulkan marginalisasi peran salah satu kelompok atau golongan lain, khususnya masyarakat. Terakhir, dalam perspektif sosiologis, maka setiap kebijakan pembangunan harus senantiasa mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat, dimana pembangunan kehutanan berbasis penanaman harus diupayakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Meskipun kebijakan pembangunan kehutanan dalam kerangka Renstra Departemen Kehutanan 2005 – 2009 dan Renstra Kementrian Kehutanan 2010 – 2014 menempatkan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) menjadi salah satu prioritas utama, namun pendekatan yang dilakukan Pemerintah ternyata memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan tersebut secara substansial mencerminkan adanya pergeseran paradigma Kementrian Kehutanan terhadap program rehabilitasi hutan dan lahan. Program RHL periode 2005 – 2009 dilakukan melalui aktualisasi program GN-RHL atau GERHAN, sementara program RHL periode 2010 – 2014 dilakukan melalui aktualisasi Program Kebun Bibit Rakyat (KBR).
Berdasarkan hasil identifikasi desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan tahun 2009 (Survey PODES 2008), terdapat desa sebanyak 40.859 yang tersebar di 17 provinsi. sedangkan berdasarkan peta kawasan hutan sebanyak 38.565 desa. Dari 38.565 desa yang dicakup pada kegiatan identifikasi desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan, terdapat 9.103 desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan (23,60 persen) sedangkan sisanya 29.462 desa (76,40 persen) berada di luar kawasan hutan. Berdasarkan penyebaran jumlah desa menurut fungsi pokok kawasan hutan, sebagian besar desa berada pada kawasan hutan lindung (9,44 persen).
Berdasarkan data CIFOR (2007) menyatakan bahwa dari 220 juta penduduk Indonesia, maka 48,8 juta orang diantaranya tinggal di pedesaan sekitar kawasan hutan, dan kurang lebih 10,2 juta diantaranya secara struktural termasuk kategori miskin/tertinggal.
Rincian target luas penanaman per tahun : Tahun 2003 seluas 300.000 ha, 2004 seluas 500.000 ha, 2005 seluas 600.000 ha, 2006 seluas 700.000 ha, dan 2007 seluas 900.000 ha.
Bila diasumsikan setiap hektar membutuhkan 1,000 bibit pohon, maka selama lima tahun dengan target 3,000,000 hektar dibutuhkan tidak kurang 3,000,000,000 bibit pohon atau sekitar 600,000,000 bbit per tahun.
Kegiatan RHL berbasis GN-RHL yang berlangsung dari tahun 2003 - 2009 harus diakui telah memberikan peluang yang sangat besar kepada kelompok dunia usaha perbenihan (baca : para pengusaha pembibitan.tanaman hutan dan pengedar benih lokal). Dengan target awal luas areal penanaman GN-RHL periode tahun 2003 – 2007 adalah 3.000.000 Ha yang tersebar di DAS-DAS prioritas di seluruh provinsi di Indonesia , maka kebutuhan bibit yang diperlukan bagi pencapaian target tersebut menjadi sangat besar . Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka kebutuhan akan bibit bagi program GN-RHL yang demikian besar mengharuskan setiap BP DAS di seluruh Indonesia mengadakan tender secara terbuka untuk memilih pengusaha pembibitan yang memenuhi kualifikasi yang sesuai. Dengan kata lain, era GN-RHL yang berlangsung dalam periode 2003 – 2009 merupakan salah satu masa keemasan bagi para pengusaha pembibitan dan perbenihan tanaman hutan karena besarnya peluang usaha yang diberikan Pemerintah kepada mereka. Yaitu melalui program GN-RHL atau GERHAN.
Persoalannya, terlepas dari berbagai keberhasilannya, kebijakan GN-RHL yang pada periode lima tahun tersebut menjadi salah satu icon pembangunan nasional yang tercermin dari dukungan dan keterlibatan para pihak, baik lintas sektoral maupun pusat daerah , ternyata juga menghasilkan beberapa celah kelemahan mendasar.
Pertama, Lahirnya pengusaha perbenihan/ pengedar bibit instan. Besarnya kebutuhan bibit bagi realisasi kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan berbasis program GN-RHL telah membuka peluang masuknya pengusaha-pengusaha perbenihan instan. Tidak dapat dipungkiri bahwa konsistensi program rehabilitasi hutan dan lahan dalam bentuk kegiatan penghijauan dan reboisasi selama bertahun-tahun telah mendorong tumbuh dan berkembangnya pengusaha perbenihan yang handal dan profesional. Namun, besarnya akan kebutuhan bibit bagi realisasi program GN-RHL periode tahun 2003 – 2009 telah pula membuka peluang masuknya pengusaha-pengusaha baru, termasuk pengusaha-pengusaha perbenihan yang core bisnis awalnya justru dari sektor lain, antara lain bisnis konstruksi dan kontraktor. Karena karakteristik tersebut, maka pengusaha perbenihan instan yang core bisnis awalnya justru bergerak di sektor non perbenihan tidak memiliki track record sebagai pengusaha perbenihan tanaman hutan yang profesional secara teknis, maupun SDM.
Kesepahaman upaya penanggulangan secara terpadu kerusakan lingkungan dan lahan kritis antarsektor diformulasikan melalui Keputusan Bersama Menko Kesra, Mengko Ekuin dan Menko Polkam No. 09/Kep/ Menko/ Kesra/III/2003; No : Kep.16/M.Ekon/03/2003; No : Kep.08/Menko/Polkam/ III/2003, tentang pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional (TKPLRRN).
Pembibitan Modern menjadi sumber bibit yang berkualitas |
Ketiga, berkembangnya pengusaha perbenihan tanaman hutan/ pembibitan pencari rente. Sejalan dengan lemahnya aktualisasi pemberdayaan para pengusaha UKM di bidang pembibitan/ perbenihan tanaman hutan, maka yang kemudian justru berkembang adalah para pengusaha perbenihan “semu” yang justru berorientasi pada pencarian rente (baca : margin profit penyediaan bibit). Pada umumnya, karena peraturan perundang-undangan yang mengharuskan proses tender pada pekerjaan-pekerjaan dengan nilai besar justru menyebabkan pengusaha UKM perbenihan atau bahkan petani bibit/ pengedar bibit tidak mampu memenuhi kualifiakasi adminitratif dalam tender pemenuhan kebutuhan bibit. Sebaliknya, para pengusaha perbenihan yang memiliki kualifikasi administratif, namun secara essensial tidak memiliki kompetensi dan pengalaman dalam bidang pembibitan justru lolos dalam kualifikasi. Pada akhirnya, realitas yang terjadi adalah berkembangnya para pengusaha pembibitan yang hanya berorientasi pada aspek keproyekan (baca : rente).
Keempat, persoalan kualitas bibit. Massifnya kegiatan rehabilitasi dalam skala yang sangat besar berdampak terhadap besarnya kebutuhan bibit. Besarnya kebutuhan bibit bagi realisasi program GN-RHL telah menempatkan proses pengadaan benih pada sebuah dilematika. Dilematika tersebut adalah pendekatan yang mengedepankan pemenuhan kuantitas sebagai parameter keberhasilan di satu sisi dengan pendekatan yang mengedepankan kualitas benih di sisi lain. Dengan kata lain, pada pendekatan pertama persoalan kualitas bibit belum menjadi sebuah prioritas utama. Pendekatan ini seringkali dikenal dengan pendekatan ASAHI atau Asal Hijau . Lebih jauh, pertanyaan bahkan gugatan yang mengemuka terkait dengan persoalan kualitas bibit ini adalah apa bedanya pengusaha pembibitan / pengedar benih dengan petani bibit apabila dari sisi kualitas bibit tidak terdapat perbedaan nyata (baca : sertifikasi bibit/ benih).
Makna dari akronim ASAHI adalah bahwa dalam pendekatan rehabilitasi hutan dan lahan dalam rangka pemulihan fungsi DAS kritis yang diutamakan adalah pendekatan konservasi dan lingkungan, sementara manfaat ekonomi dari kegiatan RHL belum menjadi petimbangan utama. Hal ini menyebabkan masalah kualitas bibit belum menjadi focus perhatian. Dalam jangka panjang, dikaitkan dengan persoalan sosial ekonomi DAS yang kian kompleks dengan keberadaan masyarakat dan konflik tenurial, pendekatan RHL berbasis ASAHI ini memperoleh gugatan dari para pihak.
Kelima, stagnasi jaringan dan pasar benih. Program RHL berbasis GN-RHL yang didukung oleh penetapan kebijakan yang secara resmi diundangkan dalam peraturan perundang-undangan telah menjadikan program RHL sebagai program yang bersifat given. Lebih jauh, kebutuhan akan bibit bagi kegiatan RHL telah menjadi sesuatu yang pasti. Meskipun di satu sisi memberikan perspektif positip berupa kepastian pasar, namun dalam jangka menengah dan jangka panjang kondisi tersebut justru kontrproduktif. Persoalannya terletak pada terjadinya stagnasi pasar dan tidak berkembangnya jaringan pemasaran para pengusaha perbenihan. Sebagai akibat terlalu dominannya peran program RHL sebagai pasar utama para pengusaha perbenihan telah mendorong tidak berkembangnya inovasi pasar maupun penetrasi pasar-pasar baru perbenihan. Padahal, kegiatan RHL terus mengalami perkembangan dan perluasan antara lain di sektor pertambangan (reklamasi dan restorasi), sektor PU (penanaman hilir dan jalan tol), serta sektor-sektor lainnya yang semuanya membutuhkan pasokan bibit dari pengusaha perbenihan.
Berbagai kelemahan terhadap implementasi program GN-RHL dalam konteks pembibitan di atas telah mendorong Kementrian Kehutanan mencari alternatif lain serta mencari langkah terobosan dalam upaya penyediaan bibit bagi realisasi program RHL. Pendekatan alternatif sekaligus langkah terobosan tersebut tentu saja diupayakan agar dapat mengeliminir berbagai kelemahan program RHL. Mulai dari pemberdayaan petani bibit, penyederhanaan proses dan mata rantai birokrasi melalui deregulasi dan debirokratisasi, manfaat langsung bagi petani atau kelompok tani dalam bentuk hibah dan sebagainya. Berbagai pendekatan penyempurnaan kebijakan tersebut pada akhirnya dituangkan melalui Program Kebun Bibit Rakyat atau KBR.
Pengembangan Kebun Bibit Rakyat |
PROGRAM KEBUN BIBIT RAKYAT : REFLEKSI PERGESERAN PARADIGMA RHL
KEMENTRIAN KEHUTANANProgram rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) secara umum memiliki tujuan untuk
- Mewujudkan perbaikan lingkungan dalam upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan untuk penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif;
- Mengoptimalkan fungsi sumberdaya hutan dan lahan untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, serta memberi manfaat yang nyata bagi masyarakat; serta
- Memotivasi tumbuhnya kesadaran seluruh komponen masyarakat untuk mengerahkan sumberdaya yang ada guna melaksanakan perbaikan lingkungan melalui reboisasi dan rehabilitasi lahan.
Berdasarkan tujuan program RHL tersebut, maka keberadaan dan peran masyarakat memiliki posisi yang sangat dominan sekaligus sentral bagi keberhasilan realisasi program RHL. Selain terletak pada peran serta atau partisipasi masyarakat (baca : dukungan) dalam mengerahkan sumberdaya yang ada, keberhasilan program RHL juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan program RHL memberikan manfaat ekonomi secara langsung kepada masyarakat.
Sebuah realitas yang tak dapat dipungkiri dimana fakta kegagalan program RHL selama ini antara lain disebabkan karena abai terhadap peran masyarakat. Seringkali kegagalan RHL di masa lalu justru dikarenakan factor masyarakat yang karena satu dan lain hal justru kehilangan lahan dan mata pencarian akibat program RHL. Dengan kata lain, program RHL selama ini tidak memberikan dampak langsung kepada masyarakat petani hutan.
Sebaliknya, kegiatan RHL justru lebih memberdayakan (baca : menguntungkan) kelompok lain dalam strata para pihak, mulai dari pengusaha bibit, konsultan perencana kegiatan RHL, LSM pendamping dan pihak-pihak lain terkait . Faktor lain yang dominan, program RHL selama ini terlalu berorientasi pada kepentingan konservasi dan lingkungan hidup an sich. Sementara kepentingan sosial ekonomi masyarakat justru tidak dipertimbangkan bahkan adakalanya diabaikan.
Persoalan berikutnya, tatkala kesadaran masyarakat telah timbul dan keinginan untuk menanam tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna dalam berbagai upaya rehabilitasi hutan dan lahan meningkat, ternyata justru dibatasi oleh kondisi ketidakmampuan mereka untuk memperoleh bibit yang berkualitas. Sebagai akibatnya, masyarakat tidak mampu berpartisipasi dalam kegiatan RHL. Adakalanya masyarakat pada akhirnya cenderung menanam tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna dari biji atau benih asalan, sehingga tanaman tersebut memerlukan waktu lebih panjang untuk berproduksi dan apabila berproduksi kualitas dan kuantitas hasilnya kurang memuaskan.
Bertolak dari realitas tersebut, dalam rangka mewujudkan revitalisasi program pembangunan berbasis penanaman di Kementrian Kehutanan, maka pada tahun 2010 Kementrian Kehutanan merumuskan sebuah kegiatan yang bertujuan mendukung program RHL dengan pendekatan paradigma yang berbeda. Utamanya dengan pendekatan kegiatan RHL berbasis GN-RHL atau GERHAN. Pendekatan kegiatan RHL di era GN-RHL dengan berbagai titik lemahnya diupayakan untuk bisa diatasi dengan menggunakan pendekatan paradigma yang lebih berorientasi bagi peningkatan peran dan pemberdayaan masyarakat.
Pendekatan paradigma kegiatan RHL tersebut bermuara pada upaya pemenuhan penyediaan
- bibit berkualitas,
- berbasis pemberdayaan masyarakat,
- berbentuk hibah atau bantuan langsung, serta
- bersifat swakelola.
Kegiatan RHL di atas bertumpu pada upaya penyediaan bibit yang kemudian dikenal dengan nama Kebun Bibit Rakyat atau KBR. Lebih jauh, KBR merupakan fasilitasi pemerintah dalam penyediaan bibit tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna (MPTS) yang prosesnya dibuat secara swakelola oleh kelompok tani. Bibit hasil dari kegiatan KBR digunakan untuk merehabilitasi dan menanam di lahan kritis, lahan kosong dan lahan tidak produktif di wilayahnya.
Berbeda dengan program sebelumnya, maka program KBR merupakan kegiatan yang murni bersifat hibah atau bantuan dari Pemerintah kepada masyarakat. Hal ini juga dimaksudkan sebagai sarana untuk mengurangi terjadinya resiko sosial berupa kemiskinan akibat degradasi hutan dan lahan serta sebagai tempat pemberian pengetahuan dan keterampilan mengenai pembuatan persemaian, penanaman dengan menggunakan benih/bibit yang berkualitas.
Realisasi pembangunan KBR hingga tahun 2010 telah mencapai 8,000 unit KBR dengan anggaran sebesar Rp. 400 milyar. Sesuai dengan standar satu unit KBR yang berisi paling sedikit 50,000 batang, maka pada tahun 2010 telah dihasilkan tidak kurang dari 400,000,000 batang bibit. Pada tahun 2011 pembangunan KBR ditargetkan meningkat menjadi 10,000 unit KBR. Dengan mempertimbangkan data hasil identifikasi desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan tahun 2009 terdapat desa kawasan hutan sebanyak 38.565 desa. Dengan masih tersedianya tahun anggaran pembangunan KBR hingga tahun 2014, maka diharapkan seluruh desa yang ada di kawasan hutan di atas bisa memperoleh fasilitasi pembangunan KBR.
Dalam konteks ekonomi, besarnya bantuan dana bagi pengembangan kegiatan KBR di berbagai kelompok tani dengan focus utama usaha pembibitan diharapkan akan menimbulkan multiplier effect dalam bentuk peningkatan perekonomian local, khususnya kegiatan ekonomi berbasis penanaman. Sementara dalam konteks social, kegiatan KBR telah mendorong terjadinya pemberdayaan sekaligus penguatan kelembagaan sebagai kunci peningkatan peran modal social (social capital).
Pemenuhan regulasi SVLK |
Tak dapat dipungkiri bahwa bergulirnya program KBR di berbagai wilayah di seluruh Indonesia guna mendukung keberhasilan pembangunan berbasis penanaman telah menjelma menjadi salah satu icon Kementrian Kehutanan. Dengan berbagai kelebihan, potensi dan peluang KBR, telah menjadikan kegiatan tersebut sebagai salah satu program yang diharapkan akan mampu merevitalisasi usaha perbenihan tanaman hutan di masa yang akan datang. Utamanya guna mendukung pembangunan nasional berbasis kegiatan penanaman. Persoalannya, meskipun memiliki berbagai kelebihan dan keunggulan tidak berarti KBR tidak memiliki kelemahan, termasuk hambatan yang harus menjadi tantangan di masa depan untuk bisa diatasi. Tantangan tersebut meliputi empat hal mendasar.
Pertama, kualitas benih. Dengan kegiatan yang bersifat massif m disertai dengan pembatasan budget anggaran, maka kualitas benih masih menjadi persoalan sdalam program KBR. Untuk itu, upaya pengembangan program sertifikasi benih/bibit harus bisa diintegrasikan dalam kerangka pembangunan KBR. Hal ini penting, karena pertimbangan KBR sebagai upaya pencapaian program RHL tidak boleh hanya ditujukan pada kepentingan konservasi dan lingkungan semata, sementara aspek dan manfaat ekonomi tegakan pohon diabaikan. Rekomendasi yang bisa diberikan untuk mengatasi persoalan kualitas benih KBR antara lain bisa dilakukan dengan penetapan target sertifikasi benih KBR. Misalnya pada tahun 2013 atau 2014 semua KBR harus memiliki sertifikat benih. Untuk itu, perlu dikembangkan aspek kelembagaan, SDM, sumber pendanaan maupun berbagai aspek lainnya.
Kedua, kemandirian masyarakat. KBR diharapkan bisa menjadi stimulus awal untuk mendorong peningkatan pemberdayaan masyarakat, khususnya dalam mendukung kegiatan RHL. Diharapkan pada tahun-tahun berikutnya pengembangan KBR sudah harus menggunakan skema pendanaan yang lebih mandiri dan otonom, sesuai dengan perkembangan kapasitas dan kompetensi masyarakat.
Ketiga, peningkatan status kelompok tani menjadi pengusaha perbenihan. Peningkatan status KBR yang semula kelembagaannya merupakan kelompok tani yang belum memiliki badan atau entitas hukum, diharapkan akan bisa mengalami metamorfosis meningkat menjadi pengusaha perbenihan. Meskipun dalam bentuk UKM perbenihan.
Keempat, sejalan dengan upaya mewujudkan pemantapan kawasan hutan, maka perlu dipertimbangkan kaitan KBR dan tegakan pohon hasil penanamannya dalam kerangka pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan atau KPH. Hal ini penting karena KPH telah ditetapkan akan menjadi kelembagaan resmi kawasan hutan sesuai status dan fungsinya.
Pengembangan Hutan Rakyat |
Dalam perspektif ini, perlu dipertimbangkan bahwa keberadaan perbenihan tanaman hutan –termasuk pesoalan sertifikasi bibit- harus bisa diakese oleh seluruh Direktorat Jendral di lingkup Kementrian Kehutanan RI.
Dengan keempat tantangan KBR tersebut di atas, tidak ada kata lain bagi BPDAS & PS Kementrian Kehutanan untuk segera melakukan evaluasi atas kinerja KBR, khususnya dampak dan manfaatnya bagi peningkatan social ekonomi masyarakat sekaligus kondisi biofisik lingkungan.KBN : Kebun Bibit Rakyat
Gerhan : Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan
RHL : Rehabilitasi Hutan dan Lahan
0 Response to "REVITALISASI USAHA PERBENIHAN TANAMAN HUTAN DALAM RANGKA MENDUKUNG KEBERHASILAN PROGRAM PEMBANGUNAN BERBASIS PENANAMAN : KONSEP DAN REALITAS"
Post a Comment